Mungkin kita masih ingat dimana baru -- baru ini (sekitar akhir tahun 2017), ada meme yang viral di warga Indonesia tentang seorang pedagang kaki lima yang mengatakan bahwa yang menjadi penyebab kemacetan di Stasiun Tanah Abang Jakarta itu adalah para pejalan kaki yang tidak berjalan di jalur pedestrian, padahal dalam keadaan eksistingnya jalur pedestrian di stasiun tersebut dijadikan lahan bergadang oleh para PKL itu sendiri.Â
Lantas, ketika video tentang perkataan pedagang tersebut tersebar luas, banyak orang mempertanyakan "ini orang lagi halu (re: halusinasi) ya?". Hal ini semakin ramai diperbincangkan ketika Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, yang ikut mendukung dan membenarkan pernyataan tersebut. Pada akhirnya, orang -- orang menjadi semakin ragu akan common sense dari beliau sendiri.
Terlepas dari pernyataan - pernyataan yang menimbulkan kontroversi tersebut, sebenarnya apasih yang jadi penyebab kemacetan di kawasan Stasiun Tanah Abang atau kawasan -- kawasan stasiun pada umumnya di daerah DKI? Percayalah, jawaban yang sebenarnya dari pertanyaan ini hanya ada satu, yaitu kurangnya intergrasi transportasi publik yang berkelanjutan.
Tunggu, tunggu, integrasi transportasi publik? Apasih itu? Integrasi moda transportasi publik merupakan salah satu bentuk manajemen sistem transportasi publik yang mengkombinasikan dua atau lebih moda transportasi publik guna mewujudkan pelayanan transportasi publik yang optimal, karena sistem transportasi publik sendiri pada dasarnya diselenggarakan dengan maksud untuk mengkoordinasi semua proses pergerakan penumpang dengan cara mengatur setiap komponen dalam proses transportasi.
Terus kalau ada integrasi transportasi publik apa yang terjadi? Tentu saja pergerakan penumpang akan berkesinambungan, tepat waktu, dan terdapat pelayanan dari pintu ke pintu. Yang dimaksud disini dapat dimisalkan dengan, ketika seorang penumpang telah turun di Stasiun Tanah Abang, tentunya ia akan melanjutkan perjalanan ke tujuan akhirnya bukan? Maka penumpang ini hanya akan mempunyai dua pilihan agar ia bisa sampai ke tujuan, pertama ia akan berjalan kaki, dan pilihan yang kedua ia akan menggunakan transportasi umum lainnya. Kita sebut saja ia akan menggunakan TransJakarta.Â
Untuk bisa menggunakan TransJakarta, penumpang ini perlu menuju ke halte bus itu sendiri. Bukankah hal ini akan menjadi lebih mudah ketika di kawasan Stasiun Tanah Abang disambungkan dengan halte bus yang difasilitasi dengan jalur khusus pejalan kakinya? Coba deh ini baru dua transportasi publik yang tidak tersambung dengan baik, di kondisi aktual kawasan Stasiun Tanah Abang sebenarnya masih ada transportasi -- transportasi publik lainnya yang tidak terhubung satu sama lain, sebut saja angkutan kota (angkot), becak, taksi, hingga transportasi berbasis online.
Di Stasiun Tanah Abang sebenarnya semua karakteristik untuk integrasi moda tersebut sudah dimiliki, hanya saja tidak tersambung dengan baik. Dan karena tidak terhubung dengan baik itu lah makanya terjadi kemacetan. Ketika para penumpang KRL keluar dari stasiun tidak ada jalur pejalan kaki yang jelas dan tidak dapat mengakomodasi serta menuntun pergerakan mereka menuju tranportasi publik lainnya, dan berakibat para penumpang tersebut/ para pejalan kaki ini menjadi seperti 'berhamburan' dan terjadilah kemacetan dimana mereka menyeberang jalan hingga memberhentikan angkot secara sembarangan. Seharusnya ketika seorang penumpang turun di satu pintu transportasi publik, telah tersedia pintu transportasi publik lainnya yang akan membawa ia ke tujuan perjalanan.
Tidak sampai di teknis nya saja, integrasi transportasi publik juga menyangkut hal integrasi tarif sehingga tarif pelayanan setiap modanya dapat direduksi (ini merupakan salah satu kelebihan dari pengadaan integrasi transportasi publik).
Sepertinya perlu disudahi pembahasan mengenai 'kejelekan'. Ayo kita tanyakan ada tidak ya kawasan Stasiun yang sudah mempunyai integrasi transportasi publik level baik, atau paling tidak yang sudah menuju deh? Ada tidak ya di daerah DKI? Tentu saja ada, Stasiun Tebet contohnya.
Mari kita ceritakan tentang perjalanan integrasi transportasi publik di kawasan Stasiun Tebet, agar kita semua percaya, kalau soon enough, kemacetan kota DKI Jakarta akan berkurang. Awalnya Kawasan Stasiun Tebet ini merupakan kawasan dengan perlintasan sebidang, dimana ada perpotongan antara rel kereta api dengan jalan raya. Perlintasan sebidang pada kawasan ini dijaga dengan pintu/ portal, jadi kalau KRL mau lewat portalnya akan diturunkan agar kendaraan tidak melintasi rel dan tidak membahayakan mereka.
Perlu diingat bahwa Daerah Tebet merupakan salah satu kawasan perkantoran terpadat Jakarta, maka jelas sekali volume kendaraan yang lewat di perlintasan sebidang tersebut juga tinggi. Nah, karena Stasiun Tebet sendiri juga berada di tengah kawasan perkantoran, maka headway KRL nya pun tinggi. Keadaan ini memberikan pengaruh pada tundaan kendaraan yang memanjang saat penutupan portal untuk kereta yang lewat.Â
Maka sejak April 2016, dilakukan penutupan pintu/ portal perlintasan kereta api di Stasiun KA Tebet. Selain karena memicu terjadinya kemacetan dan juga untuk mengurangi resiko kecelakaan antara kereta dengan moda transportasi lainnya yang melintas di jalur rel kereta api tersebut dan semua pergerakan yang biasanya melewati perlintasan sebidang tersebut dialihkan ke flyover Tebet.
Di Kawasan Stasiun Tebet sendiri mempunyai banyak moda transportasi publik, dimulai dari kereta commuter, bus feeder Transjakarta, bajaj, angkutan kota (angkot), dan transportasi berbasis online. Kawasan stasiun ini juga mempunyai banyak PKL yang bermunculan sejalan dengan ditutupnya perlintasan sebidang yang ada. Pada awalnya, kawasan ini tidak ubahnya dengan keadaan Stasiun Tanah Abang, namun sekarang kawasan stasiun ini sudah menjadi kawasan stasiun percontohan integrasi antar moda transportasi publik.
Kawasan stasiun ini kedepannya direncanakan akan mempunyai hall yang akan menjadi area keluar masuk penumpang dan akan langsung terhubung dengan halte bus feederTransJakarta (saat ini masih dihubungkan dengan jalur pejalan kaki). Karena pada kawasan ini eksistingnya para pejalan kaki akan menyeberangi rel kereta api untuk dapat mengakses Stasiun Tebet. Untuk berganti peron pun, para penumpang juga harus menyeberangi rel kereta api yang termasuk dalam area dalam stasiun. Sejak adanya pengadaan integrasi stasiun ini dengan TransJakarta, penumpang KRL yang turun di Stasiun Tebet juga meningkat.
Lalu bagaimana dengan transportasi publik lainnya yang berada di kawasan tersebut? Tentu saja sudah disusun rencana aksi untuk mengatur agar keadaan ini menjadi lebih baik lagi dan mendukung pergerakan para penumpang transportasi publik kawasan stasiun ini.
Ilustrasi diatas adalah gambaran akan seperti apa Stasiun Tebet diekmbangkan kedepannya demi menjadi kawasan yang terintegrasi satu sama lain trasnsportasi publiknya. Terus kalau selama ini integrasi transportasi masih tergolong rendah tingkat pengadaannya, siapa yang harus kita salahkan? Well, ya tidak ada yang disalahkan. Karena kita sama -- sama sedang belajar untuk menjadi kota metropolitan dengan sistem transportasi yang lebih baik dan menjadi negara yang lebih makmur. Semoga dengan tulisan ini, kita semakin gemar menggunakan transportasi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H