Sebaliknya, pasangan yang mampu mengembangkan pola komunikasi yang sehat, seperti mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati, memiliki peluang lebih besar untuk menciptakan hubungan yang lebih stabil setelah rekonsiliasi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas komunikasi adalah faktor kunci yang menentukan keberhasilan hubungan semacam ini.
Di sisi lain, teori atribusi memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana pasangan memahami penyebab perpisahan dan rekonsiliasi mereka. Pasangan yang mengatribusi konflik pada faktor eksternal, seperti tekanan pekerjaan atau masalah keluarga, cenderung lebih optimis tentang prospek hubungan mereka.Â
Sebaliknya, pasangan yang mengatribusi masalah pada karakteristik pribadi pasangan cenderung mengalami ketidakpuasan yang berkelanjutan meskipun kembali bersama. Penelitian sebelumnya oleh LeFebvre et al. (2015) menunjukkan bahwa pasangan dalam hubungan on-again/off-again yang mengatribusi konflik secara internal memiliki kemungkinan 30% lebih tinggi untuk berpisah lagi dibandingkan mereka yang mengatribusi konflik secara eksternal.
Meskipun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan on-again/off-again tidak selalu negatif. Dalam beberapa kasus, pasangan melaporkan bahwa fluktuasi dalam hubungan memberikan kesempatan untuk refleksi diri dan pertumbuhan pribadi.Â
Sekitar 25% pasangan melaporkan peningkatan kepuasan hubungan setelah kembali bersama karena mereka merasa lebih memahami kebutuhan dan harapan masing-masing (Dailey et al., 2017). Ini menunjukkan bahwa hubungan seperti ini dapat menjadi adaptif jika pasangan mampu mengelola konflik secara konstruktif dan membangun kembali komitmen berdasarkan kesadaran bersama.
Namun, tantangan yang muncul tidak bisa diabaikan. Stres emosional yang disebabkan oleh siklus perpisahan dan rekonsiliasi dapat berdampak negatif pada kesehatan mental pasangan, terutama jika fluktuasi terjadi terlalu sering.Â
Oleh karena itu, penting bagi pasangan dalam hubungan semacam ini untuk mengidentifikasi pola-pola disfungsional dan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Dengan bimbingan yang tepat, hubungan on-again/off-again memiliki potensi untuk menjadi lebih stabil dan fungsional.
***
Hubungan on-again/off-again adalah fenomena yang kompleks, di mana fluktuasi antara perpisahan dan rekonsiliasi dapat menjadi tanda disfungsionalitas atau justru proses adaptif yang memperkuat hubungan. Penelitian Dailey dkk. (2017) menunjukkan bahwa keberhasilan hubungan semacam ini bergantung pada kemampuan pasangan untuk mengatasi konflik, membangun komunikasi yang sehat, dan mengelola ekspektasi secara realistis.Â
Bagi pasangan yang mampu belajar dari kesalahan dan memperbaiki pola interaksi mereka, hubungan on-again/off-again dapat menjadi cara untuk mencapai komitmen yang lebih kuat. Namun, tanpa perubahan yang signifikan, pola ini berisiko memperburuk stres emosional dan ketidakpuasan hubungan.
Implikasi penelitian ini sangat relevan bagi konselor hubungan dan individu yang ingin memahami dinamika hubungan mereka. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan rekonsiliasi, pasangan dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana tentang masa depan hubungan mereka.Â