Emotional Fluctuations in Romantic Relationships: Risks and Rewards of Reconciliation
Dalam kehidupan percintaan, hubungan romantis sering kali menjadi salah satu aspek paling kompleks dan dinamis. Salah satu fenomena yang menarik perhatian para peneliti adalah hubungan fluctuation on-again/off-again, yaitu hubungan yang ditandai dengan pola perpisahan dan rekonsiliasi berulang. Fenomena ini, meskipun sering dianggap sebagai tanda ketidakstabilan, juga dapat mencerminkan adaptasi pasangan dalam mengelola konflik dan memperkuat komitmen. Penelitian yang dilakukan oleh Ren M. Dailey, Brittani Crook, Nicholas Brody, dan Leah LeFebvre (2017) dalam artikel mereka berjudul "Fluctuation in On-again/Off-again Romantic Relationships: Foreboding or Functional?" mengeksplorasi apakah hubungan seperti ini lebih banyak membawa manfaat atau justru menjadi tanda disfungsionalitas dalam hubungan.
Menurut laporan Pew Research Center (2020), sekitar 40% pasangan muda di Amerika Serikat melaporkan pernah mengalami hubungan on-again/off-again. Di satu sisi, hubungan ini memberikan kesempatan bagi pasangan untuk mengevaluasi kembali komitmen mereka dan memperbaiki dinamika yang bermasalah. Namun, di sisi lain, fluktuasi hubungan juga dapat menyebabkan stres emosional yang signifikan, terutama jika pasangan tidak memiliki keterampilan komunikasi dan resolusi konflik yang memadai. Penelitian Dailey dkk. (2017) menunjukkan bahwa hubungan seperti ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ketidakstabilan emosional, ketidakcocokan tujuan, dan pola interaksi yang disfungsional.
Artikel ini menawarkan wawasan yang mendalam tentang dinamika pasangan dalam hubungan on-again/off-again. Dengan menggunakan teori interdependensi dan teori sistem hubungan, penelitian ini memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana pasangan mengevaluasi manfaat dan biaya dalam hubungan mereka. Wawasan ini penting tidak hanya bagi akademisi, tetapi juga bagi konselor dan individu yang ingin memahami pola hubungan mereka. Hubungan on-again/off-again mungkin tampak kontradiktif, tetapi bagi sebagian pasangan, pola ini justru menjadi cara mereka untuk menemukan keseimbangan dalam hubungan mereka.
***
Penelitian Dailey dkk. (2017) memberikan gambaran mendalam tentang dinamika hubungan on-again/off-again dan pola interaksi yang memengaruhi stabilitasnya. Salah satu temuan penting adalah bahwa keputusan untuk kembali bersama sering kali dipengaruhi oleh evaluasi manfaat dan biaya. Dalam konteks teori interdependensi, pasangan cenderung mempertimbangkan apakah rekonsiliasi akan membawa lebih banyak keuntungan emosional daripada risiko konflik. Misalnya, 62% pasangan yang kembali bersama melaporkan bahwa perasaan kasih sayang yang mendalam menjadi alasan utama rekonsiliasi (Dailey et al., 2017). Namun, pasangan yang kembali bersama tanpa menyelesaikan masalah sebelumnya cenderung mengalami siklus perpisahan ulang, yang menunjukkan bahwa rekonsiliasi bukan solusi otomatis.
Teori sistem hubungan juga menyoroti pentingnya pola interaksi dalam hubungan on-again/off-again. Pola komunikasi yang disfungsional, seperti penghindaran konflik atau kurangnya keterbukaan, sering kali memperburuk dinamika hubungan ini. Dalam studi Dailey dkk., 45% pasangan melaporkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan konflik adalah penyebab utama perpisahan berulang. Sebaliknya, pasangan yang mampu mengembangkan pola komunikasi yang sehat, seperti mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati, memiliki peluang lebih besar untuk menciptakan hubungan yang lebih stabil setelah rekonsiliasi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas komunikasi adalah faktor kunci yang menentukan keberhasilan hubungan semacam ini.
Di sisi lain, teori atribusi memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana pasangan memahami penyebab perpisahan dan rekonsiliasi mereka. Pasangan yang mengatribusi konflik pada faktor eksternal, seperti tekanan pekerjaan atau masalah keluarga, cenderung lebih optimis tentang prospek hubungan mereka. Sebaliknya, pasangan yang mengatribusi masalah pada karakteristik pribadi pasangan cenderung mengalami ketidakpuasan yang berkelanjutan meskipun kembali bersama. Penelitian sebelumnya oleh LeFebvre et al. (2015) menunjukkan bahwa pasangan dalam hubungan on-again/off-again yang mengatribusi konflik secara internal memiliki kemungkinan 30% lebih tinggi untuk berpisah lagi dibandingkan mereka yang mengatribusi konflik secara eksternal.
Meskipun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan on-again/off-again tidak selalu negatif. Dalam beberapa kasus, pasangan melaporkan bahwa fluktuasi dalam hubungan memberikan kesempatan untuk refleksi diri dan pertumbuhan pribadi. Sekitar 25% pasangan melaporkan peningkatan kepuasan hubungan setelah kembali bersama karena mereka merasa lebih memahami kebutuhan dan harapan masing-masing (Dailey et al., 2017). Ini menunjukkan bahwa hubungan seperti ini dapat menjadi adaptif jika pasangan mampu mengelola konflik secara konstruktif dan membangun kembali komitmen berdasarkan kesadaran bersama.
Namun, tantangan yang muncul tidak bisa diabaikan. Stres emosional yang disebabkan oleh siklus perpisahan dan rekonsiliasi dapat berdampak negatif pada kesehatan mental pasangan, terutama jika fluktuasi terjadi terlalu sering. Oleh karena itu, penting bagi pasangan dalam hubungan semacam ini untuk mengidentifikasi pola-pola disfungsional dan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Dengan bimbingan yang tepat, hubungan on-again/off-again memiliki potensi untuk menjadi lebih stabil dan fungsional.
***