Pancasila merupakan dasar dalam bernegara dan menjadi pilar yang menentukan arah kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Negara Indonesia merupakan negara dengan ruh kerohanian sebagai landasan penting dalam bermasyarakat. Terlihat dalam ideologi negara, unsur Tuhan diletakkan pertama dalam Pancasila yang menjadi landasan pada empat sila lainnya. Sila pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi fondasi spiritual yang mempengaruhi moral serta menjadikan karakter Pancasila dalam perannya sebagai dasar negara.
Pengaruh sila pertama terhadap sila kedua Pancasila yaitu sebagai landasan spiritual pengakuan terhadap keberadaan Tuhan yang mampu mendorong untuk bersikap adil dan beradab terhadap sesama sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis antar masyarakat.Â
Pengaruh sila pertama terhadap sila ketiga Pancasila yaitu sebagai landasan yang bersumber dari nilai-nilai spiritual untuk mempersatukan keberagaman suku, budaya, agama menjadi satu kesatuan.
Pengaruh sila pertama terhadap sila keempat Pancasila yaitu menempatkan unsur ketuhanan sebagai pijakan dalam melakukan pengambilan keputusan dengan kebijaksanaan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia.Â
Pengaruh sila pertama terhadap sila kelima Pancasila yaitu menempatkan unsur ketuhanan untuk mampu mendorong terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keberadaan sila pertama dalam Pancasila tidak lepas kaitannya sebagai dasar dalam bernegara. Hal tersebut juga sering dikaitkan dalam dunia politik di Indonesia. Isu adanya politisasi agama dalam dunia politik terus bermunculan seiring dengan panasnya  perpolitikan di Indonesia. Dilansir dari artikel yang diterbitkan Kantor Wilayah Kementrian Keagamaan Kalimantan Tengah, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa menurutnya politisasi agama merupakan penggunaan agama sebagai media, sarana, instrumen untuk mencapai tujuan politik pragmatis. Politisasi agama dan menjadikan agama sebagai landasan berpolitik merupakan dua hal yang berbeda. Politisasi agama berarti menjadikan agama sebagai sumber kekuatan dalam menarik massa dan memecah belah suatu kelompok untuk mendapatkan jabatan. Namun jika agama dijadikan sebagai landasan dalam berpolitik berarti dasar keagamaan yang mencakup nilai etika dan moral dijadikan sebagai prinsip dalam merumuskan hingga menentukan kebijakan dan keputusan.
Penggunaan dosis agama sebagai instrumen politik untuk memperoleh kekuasaan dalam ajang pemilihan marak terjadi akhir-akhir ini. Agama sebagai sesuatu yang suci dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menghancurkan masyarakat melalui perbedaan dalam berkeyakinan. Dalam konteks poitik, seringkali agama digunakan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat dengan menjadikan panggung perbedaan sebagai acara saling menjelek-jelekkan antar calon legislatif. Agama sebagai sesuatu yang sensitif menjadikan segala hal yang berkaitan menjadi lebih emosional.Â
Praktik ini, yang seharusnya didasarkan pada kebebasan beragama dan pluralisme, justru sering digunakan sebagai senjata politik untuk menciptakan polarisasi dan menggerakkan basis dukungan. Pada kenyataannya, calon politisi sering memanfaatkan isu tersebut untuk mendapatkan simpati dari masyarakat dengan memberikan janji politik pada kepentingan agama tertentu. Selain itu, sering ditemukan simbol-simbol keagamaan serta kegiatan kampanye di tempat ibadah untuk meningkatkan citra diri.Â
Dalam hal lain, banyak calon politisi yang menggunakan kegiatan keagamaan dengan memberikan kampanye politik pada kegiatan tersebut dengan menggunakan bahasa retorika yang bersifat agamis. Penting disadari bahwa politisasi agama mampu memicu intoleransi serta terjadinya diskriminasi yang didasari pada aspek keagamaan. Calon politisi yang menggunakan aspek keagamaan seringkali melakukan praktek politisasi agama tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Politisasi keagamaan dapat juga dilakukan dengan menggunakan media digital seperti sosial media. Hal tersebut menjadi krusial karena menimbulkan pemberitaan yang sensasional. Berita hoaks atau palsu juga sering dijadikan sebagai alat untuk berpolitik dengan mengaitkan dan menyebarkan fitnah seperti kasus penistaan agama terhadap suatu kelompok agama tertentu dengan tujuan agar mampu menggiring opini masyarakat untuk menghakimi suatu agama tertentu. Hal tersebut mampu menyebabkan ketidakpastian yang dapat merugikan salah satu pihak dengan merusak citra atau bahkan merendahkan martabat suatu agama.Â
Dalam hal lain, media sosial memerankan peran provokatif sebagai platform yang membebaskan para calon politisi untuk menyebarkan konten-konten kontroversial sehingga mampu memperkuat keyakinan terhadap suatu pandangan tertentu. Penggunaan hashtag juga mampu menjadi alat dalam berpolitisasi agama sehingga mampu menaikkan suatu isu keagamaan dengan cepat. Hal tersebut tentunya menjadi suatu keresahan yang kerap dirasakan oleh suatu pihak politik maupun masyarakat yang terdampak.
Dengan demikian, perlu adanya perlawanan atas politisasi agama yang dapat dimulai dari pemahaman akan nilai toleransi serta mengutamakan kepentingan bersama demi tercapainya kerukunan.Â
Perlu adanya pendidikan mengenai politisasi agama serta penghargaan atas perbedaan keyakinan yang perlu ditingkatkan. Dalam masyarakat, perlu adanya kemampuan dalam memilih informasi agar tidak terjebak pada berita yang mengkotak-kotakkan golongan masyarakat. Peran pemerintah dalam hal ini cukup penting dengan membuat regulasi yang jelas serta pemberian kebijakan dengan menindak tegas politikus yang kedapatan melakukan politisasi agama. Makin pentingnya literasi digital dan kemampuan berpikir kritis menuntut tindakan segera dalam melawan politisasi keagamaan melalui media sosial.Â
Masyarakat harus dilengkapi dengan keterampilan untuk memverifikasi informasi, mengenali berita palsu, dan memahami konteks dari setiap informasi yang ditemui di dunia digital. Kerjasama yang kokoh antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil menjadi faktor kunci dalam membentuk lingkungan digital yang lebih sehat dan beretika.Â
Perlu disadari bahwa politisasi keagamaan memiliki potensi dampak negatif terhadap stabilitas sosial, keseimbangan antar agama, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, ditekankan pentingnya meningkatkan pemahaman mengenai keragaman serta mengutamakan dialog antaragama dan nilai-nilai persatuan dalam konteks politik. Sementara keberadaan kelompok keagamaan dalam ranah politik dapat diterima, namun harus dijaga agar tidak menimbulkan polarisasi dalam masyarakat. Pada dasarnya, partisipasi kelompok keagamaan dalam politik adalah hak setiap individu, selama hal tersebut tidak menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, implementasi pemilu yang efektif harus mengintegrasikan agama sebagai landasan perilaku berpolitik dan kepemimpinan, dengan tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi dan persatuan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H