Mohon tunggu...
Latisha Pramesti
Latisha Pramesti Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

XI IPS 2 SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sore Bersama Ayah

20 November 2020   13:53 Diperbarui: 3 Maret 2021   12:26 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah tersenyum hangat, "Manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kadang, manusia sering ngerasa kalau mereka masih punya banyak waktu sampai akhirnya mereka kehabisan waktu." Ucap Ayah tenang, "Hargai orang-orang dan hal-hal yang ada di hidup kamu sekarang. Kamu nggak pernah tahu kapan semua itu akan pergi dari hidup kamu. Ayah nggak mau kamu malah menyesal nantinya."

Sampai malam menjemput, Aji tidak berhenti memikirkan perkataan Ayah tadi sore. Kata-kata Ayah terus menghantuinya. Bagaimana jika waktu ingin mengambil hal-hal yang ia punya sekarang? Atau satu jam lagi? Atau malah besok?

Sepertinya, jawabannya adalah yang terakhir. Karena ketika Aji bangun keesokan harinya, ia disambut oleh Bunda yang menangis sambil mencoba membangunkannya. Bunda bilang, Ayah tiba-tiba tidak sadarkan diri ketika sedang menonton televisi di ruang tamu. Aji segera beranjak dari tempat tidurnya, berniat mengantar Ayah ke rumah sakit dengan harapan bahwa Ayah akan baik-baik saja.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Ayah mengembuskan napas terakhirnya karena mengalami serangan jantung. Aji paham kalau waktu memang bisa mengambil apa yang ia punya kapanpun, tapi kenapa mesti sekarang?

Seandainya Aji tahu bahwa sore itu adalah kesempatan terakhirnya untuk duduk berdua dengan Ayah, ia pasti akan membiarkan dirinya duduk lebih lama lagi. Tapi, waktu memang tidak pernah membiarkan kita tahu rahasianya, kan?

Hari-hari selanjutnya, Aji lewati dengan keadaan berduka. Aji sedih, namun ia mencoba tegar untuk Bunda. Wanita itu sekarang tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya. Aji tidak bisa membiarkan Bunda melewati semuanya sendirian.

Berminggu-minggu setelah kepergian Ayah, Aji baru berani untuk duduk kembali di teras dan melanjutkan rutinitas yang biasa ia lakukan dengan Ayah setiap sore. Sore itu sama seperti sore-sore sebelumnya, kecuali fakta bahwa Ayah tidak ada lagi disana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun