Sore itu sama seperti sore-sore sebelumnya. Aji sedang duduk bersama Ayah di teras depan rumah, bicara tentang apapun yang bisa mereka bicarakan. Ini sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari. Meskipun Ayah sibuk kerja dan Aji sibuk sekolah, namun mereka selalu menyempatkan untuk duduk dan mengobrol sambil makan keripik kentang buatan Bunda di teras rumah setiap harinya.
Ayah adalah sosok yang akan selalu Aji kagumi. Ayah itu pekerja keras, bijaksana, dan selalu sayang keluarga. Aji banyak belajar darinya. Kalau Aji sudah besar nanti, ia berharap kalau ia bisa menjadi seperti ayahnya.
"Ayah," Aji memulai percakapan sore itu, "Kenapa ya kita nggak pernah benar-benar tahu tentang waktu?"
"Hmmm," Ayah tampak berpikir, "Kalo udah tahu duluan, nanti hidup jadi nggak seru dong."
Aji mendengus, "Aku serius, Ayah."
Ayah tertawa renyah, namun kemudian kembali serius, "Mungkin supaya kita bisa lebih menghargai waktu?"
"Maksudnya gimana, Yah?"
"Waktu berjalan secepat itu, detik ini kamu bisa merasa kalo hidupmu baik-baik aja, tapi siapa yang bisa jamin semuanya bakal tetep sama di detik selanjutnya?" Ayah tersenyum kecil, "Nggak ada kan? Nah, menurut Ayah, ketidaktahuan kita tentang waktu bisa membuat kita lebih menghargai hal-hal disekeliling kita, karena kita sadar kalau hal-hal itu bisa hilang kapan aja."
Aji mengangguk. Dua bola matanya menatap lurus ke depan, menatap apa saja sembari menyerap wejangan Ayah dalam kepalanya.
"Di dunia ini nggak ada yang selamanya, Aji. Orang-orang disekitar kamu dan hal-hal yang kamu punya sekarang, semuanya pasti akan pergi. Semua orang punya waktunya masing-masing di hidup kamu, dan kalau mereka pergi, artinya waktu mereka di hidup kamu memang sudah habis." Ayah menatap lurus ke depan, "Waktu memang semisterius itu, semua hal bisa berubah secepat kedipan mata dan kamu harus selalu siap."
Aji mengangguk paham, "Jadi, kita harus gimana, Yah?"
Ayah tersenyum hangat, "Manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kadang, manusia sering ngerasa kalau mereka masih punya banyak waktu sampai akhirnya mereka kehabisan waktu." Ucap Ayah tenang, "Hargai orang-orang dan hal-hal yang ada di hidup kamu sekarang. Kamu nggak pernah tahu kapan semua itu akan pergi dari hidup kamu. Ayah nggak mau kamu malah menyesal nantinya."
Sampai malam menjemput, Aji tidak berhenti memikirkan perkataan Ayah tadi sore. Kata-kata Ayah terus menghantuinya. Bagaimana jika waktu ingin mengambil hal-hal yang ia punya sekarang? Atau satu jam lagi? Atau malah besok?
Sepertinya, jawabannya adalah yang terakhir. Karena ketika Aji bangun keesokan harinya, ia disambut oleh Bunda yang menangis sambil mencoba membangunkannya. Bunda bilang, Ayah tiba-tiba tidak sadarkan diri ketika sedang menonton televisi di ruang tamu. Aji segera beranjak dari tempat tidurnya, berniat mengantar Ayah ke rumah sakit dengan harapan bahwa Ayah akan baik-baik saja.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Ayah mengembuskan napas terakhirnya karena mengalami serangan jantung. Aji paham kalau waktu memang bisa mengambil apa yang ia punya kapanpun, tapi kenapa mesti sekarang?
Seandainya Aji tahu bahwa sore itu adalah kesempatan terakhirnya untuk duduk berdua dengan Ayah, ia pasti akan membiarkan dirinya duduk lebih lama lagi. Tapi, waktu memang tidak pernah membiarkan kita tahu rahasianya, kan?
Hari-hari selanjutnya, Aji lewati dengan keadaan berduka. Aji sedih, namun ia mencoba tegar untuk Bunda. Wanita itu sekarang tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya. Aji tidak bisa membiarkan Bunda melewati semuanya sendirian.
Berminggu-minggu setelah kepergian Ayah, Aji baru berani untuk duduk kembali di teras dan melanjutkan rutinitas yang biasa ia lakukan dengan Ayah setiap sore. Sore itu sama seperti sore-sore sebelumnya, kecuali fakta bahwa Ayah tidak ada lagi disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H