Mohon tunggu...
Latip 28
Latip 28 Mohon Tunggu... pegawai negeri -

lelaki yang belajar untuk menjadi ayah, juga suami

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sial adalah ketika buru-buru, ditilang polisi dan tak punya uang (kecil)

26 November 2011   22:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, Jumat tanggal 25 Nopember 2011. Waktu menunjukkan pukul 11.10 WIB dan saya masih di jalan. Jalan Gatot Subroto cukup ramai kala itu,  mungkin karena banyak orang yang buru-buru untuk mengejar Sholat Jumat, demikian juga saya.

Sepertinya ungkapan 'mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak' ada benarnya. Kali ini, saya yang semula mau mengarahkan motor saya ke arah jalan Sudirman, tiba-tiba memilih untuk lurus karena jalanan cukup lengang ke arah JCC . Dan tiba-tiba pak polisi manunjuk kendaraan saya serta memberi instruksi untuk menepi. Tak ada firasat apapun, karena aku berpikir semua yang saya lakukan benar. SIM, STNK ada di dompet. Tapi sayang, tak ada uang (kecil) di dalamnya.

"selamat siang, kenapa lampu depan tidak nyala? Peraturannya sepeda motor harus menyalakan lampu siang malam," kata polisi tersebut.

"Lupa pak," jawab saya sekenanya. Jujur, males juga menanggapinya, apalagi saya buru-buru. Sial, biasanya lampu depan jarang dinyalakan pada siang hari dan aman-aman saja, kenapa sekarang jadi masalah?

"Bisa lihat SIM-nya?" Kata Polisi itu, kemudian dia mengambilnya, lalu berjalan ke mobil. Sementara saya tetap berada di motor. Tak berapa lama, Polisi itu keluar dari mobil kemudian memanggil untuk masuk ke dalam mobil yang ternyata di dalamnya seperti kantor berjalan.

Polisi itu menunjukkan fotokopi yang telah dilaminating berupa daftar kesalahan beserta jumlah denda yang harus dibayar. Pada daftar itu tertulis besarnya denda yang harus dibayar karena tidak menyalakan lampu depan pada siang hari sebesar Rp 100.000.

"Tadi diluar banyak motor yang tidak menyalakan lampu depan."

"Saya sudah di sini, jadi saya nggak melihat." kata Polisi itu beralasan.

"Iya sih," Saya mengintip dari jendela mobil, masih ada satu dua polisi di luar. Mungkin hanya polisi ini yang taat peraturan, bahkan sampai pada lampu depan nyala atau mati. Kalau dipikir, berapa banyak motor yang tidak menyalakan lampu depan pada siang hari di Jakarta ini? Dan berapa peleton polisi yang harus diterjunkan untuk mengawasinya? Ah pusing, ngapain juga dipikirin.

Polisi itu meminta STNK motor saya, "nanti sidang tanggal 9", sambil menulis entah apa di kertas tilang itu. Saya acuh, lebih tepatnya pasrah.Mau sidang oke, nggak sidang juga nggak apa-apa. Kemudian dia mengajukan pertanyaan, "Sidang tanggal 9 bisa kan?"

"Nggak bisa pak. Saya sibuk tanggal segitu." Saya menjawab sekenanya. Tapi memang benar, kalau bulan sebelumnya saya sibuk karena laporan yang jatuh tempo setiap tanggal 10, bulan Desember bisa jadi jauh lebih sibuk.

"tanggal 9 itu hari Jumat." Polisi meyakinkan saya, atau justru meyakinkan dirinya sendiri? entahlah.

"iya pak, saya hanya kroco, tanggal segitu lagi banyak-banyaknya laporan yang harus saya buat."

Polisi terlihat menebalkan huruf yang sebelumnya ditulis sendiri di kertas tilang itu, "terserah sih, kalo mau nitip di sini juga gapapa". Haduh pak, kenapa nggk dari tadi bilang begini!

Polisi menyerahkan SIM dan STNK, dengan bodohnya saya bertanya, "jadi berapa pak?"

"terserah. Tapi kalau sidang, dendanya 100.000, ya sekitar 125.000 semuanya." katanya.

Dan kesialan yang sesungguhnya adalah ketika buka dompet, hanya ada 50.000 dan 100.000.  Sial, 50.000  harus kurelakan untuknya! Apakah saya menyuap? Entahlah, yang pasti dalam hati saya, dalam pikiran saya, hanya ada satu kata, 'masih sama!'

Sepanjang perjalanan berikutnya, saya hanya berpikir dan terus berpikir, 'salahkah saya?' Benar-benar menganggu, negeri ini tak akan berubah jika kita tak pernah mau berubah. Dan saya, sebagai pemuda, yang seharusnya menjadi agent of change, yang seharusnya mampu merubah sedikit saja, malah ikut masuk dalam permainan ini. Mengutip kata Aa Gym, bukankah seharusnya perubahan itu bisa kita lakukan mulai dari yang paling kecil, dari diri sendiri dan mulai saat ini? Kenapa saya justru melebur tanpa bisa berbuat apa-apa?

Tak banyak pertanyaan yang bisa saya jawab sepanjang sisa perjalanan itu, hanya sedikit penyesalan kenapa menjadikan kesibukan rutin sebagai alasan untuk membenarkan tindakan itu. Kalau saja saya menerima tilang itu, dan mau mengikuti sidang, tak ada 50.000 untuk menyuap atau apalah namanya, mungkin bisa menjadi pemutus rantai korupsi atau apalah di negeri ini. Ingin rasanya melihat negeri ini bebas dari korupsi, ingin rasanya melihat negeri ini menjadi negeri yang makmur, aman, damai dan sejahtera. Semoga harapan itu masih ada. amin

Jadi, sepertinya peribahasa sedia payung sebelum hujan ada benernya juga. Sebelum bepergian, pastikan semua telah sesuai dengan aturan, untuk sepeda motor, pastikan lampu depan menyala siang dan malam.



*tidak ada maksud memojokkan atau melecehkan seseorang, institusi atau apalah namanya, hanya ingin sharing. terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun