Mohon tunggu...
Latif Rizqon
Latif Rizqon Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana MSI UII

Selanjutnya

Tutup

Money

Aturan Ekonomi Islam tentang Pegadaian Syariah/Rahn

11 Januari 2018   21:40 Diperbarui: 11 Januari 2018   22:50 4426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pinjam meminjam dalam ekonomi adalah sesuatu yang lazim di lakukan oleh para pelaku ekonomi. Walau demikian meminjam untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan minum dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam. Sedangkan pinjaman yang berkaitan dengan harta untuk modal usaha sangat di anjurkan, dengan dasar bahwa uang yang di miliki oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih.[1]

Salah satu bentuk pinjam meminjam dalam ekonomi yaitu dengan kehadiran lembaga pegadaian syariah di Indonesia, hal ini memang patut disambut positif, sebab ini menunjukkan semakin meningkatnya semangat masyarakat muslim Indonesia, khususnya untuk menjadikan ajaran Islam sebagai bahagian integral untuk mengatur hubungan muamalahnya satu sama lain. 

Sehingga kehadiran lembaga keuangan syariah semisal lembaga pegadaian syariah memang perlu didukung sebab menyangkut bahagian dari keyakinan akidah seorang muslim. Namun demikian, dalam hubungan hukum utang piutang di pegadaian syariah, adalah hubungan hukum yang tidak boleh didasarkan kepada hubungan hukum yang mencari manfaat atau keuntungan secara komersial.

Artinya, titik penting hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah memang seyogyanya berbasis semata-mata dalam rangka kebaikan, tolong menolong, dan taqarrub(mendekatkan diri kepada Allah), yaitu hanya untuk memperoleh kompensasi pahala dari Allah SWT. Sebab, problematika yang harus diwaspadai adalah tatkala hubungan hukum dalam perjanjian utang piutang di pegadaian syariah terjebak kepada orientasi untuk mencari keuntungan, maka dikhawatirkan dapat berimplikasi hukum yang menjebak para pihak kedalam riba. Yang bagaimanapun juga riba dengan segala sifat, bentuk, dan implikasinya, Syariah Islam telah menetapkannya sebagai bentuk transaksi yang dilarang keras.[2]  

Dalam bahasa Arab, gadai diterjemahkan dengan rahndan dapat juga dinamai al-habsu.Secara etimologis arti rahnadalah altsubut wa al-dawam(tetap dan lama), sedangkan al-habsuberarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[3] Sehingga dapat diartikan bahwa rahnyaitu menahan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dimana barang gadai tersebut baru dapat diserahkan kembali pada pihak yang berutang  apabila utangnya sudah lunas.

Praktik rahnpada prinsipnya hampir sama dengan praktik gadai secara konvensional, dimana ada barang yang digunakan sebagai jaminan bagi kreditur (yang dalam istilah Islam disebut sebagai murtahin) atas pinjaman yang diberikan kepada debitur (yang dalam istilah Islam disebut rahin). Pemeliharaan dan penyimpanan atas marhunpada hakekatnya adalah kewajiban rahin, namun dapat juga diakukan oleh murtahintetapi biayanya tetap harus ditanggung oleh rahin. 

Besarnya biaya pemeliharaan dan penyimpanan atas marhuntersebut ditetapkan dengan akad ijarah, adanya akad ijarahinilah yang membedakan antara gadai konvensional dengan rahn. Juga salah satu perbedaan yang mendasar antara gadai syariah dengan gadai konvensional adalah tidak adanya pungutan bunga di dalam transaksi gadai syariah karena bunga merupakan salah satu bentuk riba.[4]

Adapun dasar hukum gadai konvensional di negara kita diawali dengan lembaga pegadaian yang pertama kali didirikan pada tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian beberapa kali berubah status mulai sebagai perusahaan Jawatan (1901), perusahaan di bawah IBW (1928), perusahaan negara (1960), dan kembali ke perusahan jawatan 1969. 

Baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai perusahaan umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep. keuangan RI. hingga sekarang. Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan isi pasal 7, dijabarkan : [5]

  • Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  • Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar

Sedangkan dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada Q.S. AL Baqarah (2) ayat: 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.

Artimya :jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun