Dua hari yang lalu, istriku menangis membaca surat dari perusahaanku. Ada pengurangan beberapa karyawan karena pandemi yang terjadi saat ini. Aku salah satunya. Tentu saja aku mengerti kegelisahannya. Kami harus bertahan dengan keuangan yang pas-pasan. Jatah THR yang telah kualokasikan untuk membayar utang bank, telah raib sebelum terwujud.
Dua jam yang lalu, aku menelepon Bapak. Kukatakan padanya aku tak akan pulang karena aturan yang telah ditetapkan.
"Pak," kataku terbata.
"Ya,"
Aku hendak mengatakan sesuatu, namun kalimatku seperti tertahan di tenggorokan.
"Ayo, ngomong saja, Mas. Bapak pasti maklum."
Dengung telepon masih terdengar.
"Pak,"
"Ya, ada apa?"
"Uang yang aku kirimkan, boleh kupinjam dulu? Kami sedang kesulitan di sini, aku harap Bapak bisa memaklumi."
"Ya," suara Bapak lirih terdengar. Kututup telepon dengan mata sembap.