"Biar saja. Biar orang-orang senang dengan musala baru."
"Yang penting kan jamaahnya, Pak."
"Kalau musalanya mentereng kan lebih nyaman."
"Ya sudah kalau Bapak maunya begitu." Jumadil menutup telepon.
Lewat telepon itu, Jumadil juga mengabarkan tak akan pulang. Itu artinya, pembangunan musala tak bisa dilakukan. Haji Barus bisa saja memulainya tanpa kehadirannya, namun karena situasi saat ini yang kurang pas, ia tak mau. Lagipula, uang pembangunan itu sepenuhnya dari Jumadil. Haji Barus tak enak hati melewatkannya.
Meski begitu, kepada setiap orang yang ditemuinya, Haji Barus memang telah mengabarkan pembangunan itu. Beberapa orang bahkan telah menyumbangkan dana.
"Itulah anakku. Aku bangga padanya." kata Haji Barus pada semua orang. Beberapa memang memuji, namun tak sedikit yang mencaci di belakang. Sebagai seorang haji yang dituakan di kampung, orang-orang tentu segan padanya.
/2/
Pembangunan musala menang sudah kubicarakan dengan Bapak setahun yang lalu. Aku tak tahu mengapa Bapak begitu bersemangat dengan pembangunan itu, karena sebetulnya, musala memang layak diperbaiki. Beberapa atap di pojokan memang sering bocor. Belum lagi, lantainya yang retak dan kontur tanahnya naik turun. Saat pulang kampung, kulihat anak-anak kecil bermain dengan pasir yang menyembul dari retakan lantai.
Akan kuusahakan meminjam di bank karena kebutuhanku banyak sekali akhir-akhir ini. Jika covid-19 tak sampai Indonesia, tentu saja semua uang pembangunan sudah kukirimkan pada Bapak. Namun, setengah uang itu, sudah kugunakan untuk keperluanku selama WFH. Lama-lama di rumah, membuat kepalaku pusing juga. Apalagi, istriku yang sehari-hari berdagang makanan di kantin sekolah, kini libur.
Aku sudah mengubur dalam-dalam keinginanku untuk pulang. Sedih tentu saja, sebab aku telah berjanji akan memulai pembangunan musala Bapak. Aku tak menampik, meskipun setiap tahun selalu pulang kampung, rasa rindu dengan semua yang ada di sana terasa menancap-nancap. Â