/1/
Haji Barus memandang langit yang perlahan jatuh. Seekor burung kacer nampak begitu kecil, lantas menjelma satu titik ditelan rona senja yang semakin menguning. Haji Barus duduk di bale-bale rumahnya dengan gelisah. Dua jam yang lalu, Jumadil, anaknya, baru saja meneleponnya.
Haji barus tertegun. Ia pandangi beduk yang teronggok di emper musala. Beberapa detik lamanya, ada sedih yang riuh merayapi hatinya. Ia rindu pada senja yang bertabur suara anak-anak di musala. Ia rindu dengan azan yang lantang berbunyi menjemput malam. Begitu juga kedatangan Jumadil.
Jumadil memang telah menetap di Jakarta. Sudah lebih dari lima belas tahun ia tinggal di sana, bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Haji Barus benar-benar bangga. Betapa anaknya telah menggenggam karir yang mapan dan mentereng. Ia tersenyum, hambar. Dalam kepalanya, teringat Jumadil kecil yang nakal. Jumadil sering ikut ia ke ladang. Namun bukan membantunya, melainkan untuk mengejar burung-burung kacer yang ada di sepanjang pematang.
Tahun ini, Jumadil tak akan pulang. Seperti aturan yang sudah ditetapkan, setiap orang di Jakarta tak dibolehkan pulang ke kampung halaman. Apalagi jika bukan karena covid-19. Mata Haji Barus nanar. Ada yang berlesatan di dadanya, terasa sesak dan ngilu.
"Tahun depan kalau saya pulang, Pak." ucap Jumadil setahun yang lalu.
Ketika itu, mereka tengah duduk bersama di bale-bale sehabis berbuka. Angin dari arah ladang yang bertiup membawa aroma ilalang sehabis ditebang.
"Semua biaya akan saya tanggung. Bapak tinggal mengurusnya."
"Baiklah. Bapak akan cari tukang terbaik di kampung ini."
Setahun hampir saja berlalu. Sejak dua bulan setelah obrolan itu mengalir, Haji Barus lantas mencari tukang terbaik di kampung. Ia tak mau pembangunan musala dengan tenaga abal-abal. Oleh karenanya, kepada seorang tukang di kampungnya, Haji Barus akan membayar dengan upah di atas wajar.
"Tak usah berlebihan, Pak."