Mohon tunggu...
Latifa Hanum
Latifa Hanum Mohon Tunggu... Freelancer - just me

Ada suara yang suka bercerita, di dalam kepalaku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hutan Hitam

23 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 23 Juni 2019   06:01 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu tersentak bangun, seolah seseorang baru saja menenggelamkanmu ke dalam air yang nyaris membeku. Nafasmu memburu dan keringat membasahi bajumu yang belum juga kau ganti berhari-hari. Setelah beberapa menit, tingkat adrenalinmu menurun dan saraf-sarafmu mulai membaca keadaan. Kegelapan tengah malam yang menyesakkan, kesunyian, kehampaan, kelelahan yang menumpuk di raga dan otakmu. Sekuat apapun kamu berharap semuanya hanyalah imaji, kamu tidak bisa mengubah kenyataan. Kenyataan bahwa kamu sendirian.

Air matamu sudah habis kali ini. Kamu sudah kehabisan kesempatan untuk meratapi kematian keluargamu. Ya, tiga hari lalu kedua orangtuamu, istri dan dua anakmu pergi bersama untuk menghadiri pernikahan saudaramu, tapi mobil yang mereka naiki tertabrak truk di sebuah perempatan. Tak ada yang tersisa. Kecuali kenangan yang menghimpit dadamu, meremukkan rusukmu.

Jantungmu mati rasa. Otakmu mati rasa. Kamu merasa sepi sedang mendorongmu ke jurang kegilaan. Tidak. Kamu tidak ingin menjadi gila dan melupakan kenangan tentang orang-orang yang kamu sayangi. Kamu lebih ingin bertemu kematian. Bukan dengan menggantung leher atau meminum pil. Tidur lalu pergi. Bukan. Kamu ingin menghadapi kematian, menantang Sang Kematian sendiri.

Jadi pikiranmu terfokus pada satu tempat: Hutan Hitam.
Tak ada yang sesempurna Hutan Hitam untuk melakukan tujuanmu itu, bukan? Jadi malam itu juga, kamu bergegas pergi. Tanpa menunggu detik bergulir apalagi kedatangan matahari, kamu meraih kunci.

Mobil tuamu kamu pacu berhari-hari hingga tak sanggup lagi dia melaju. Tapi kamu tak berhenti. Kamu turun lalu mulai berlari. Kamu berhenti hanya saat kakimu tak mampu lagi menopang tubuh. Kamu bertahan hidup dengan makan dedaunan yang kamu temukan di pinggir jalan dan minum air hujan. Daki menumpuk di kulitmu, debu menumpuk di baju dan celanamu dan orang pikir kegilaan sudah menutupi kewarasanmu, tapi pikiranmu masih sangat terang. Kamu tahu pasti apa yang kamu inginkan juga kemana tujuan kakimu berlari.

Entah hari keberapa kamu mencapainya. Hutan hitam yang kamu rindukan. Tanpa menunggu napas menghela, tanpa waspada, kamu merangsek ke dalamnya.

Pohon dan belukar hitam berduri menyambutmu. Kabut kelabu menguar di sekitar kakimu. Beberapa ular mengawasi dari balik dahan. Ratusan laba-laba dan ribuan serangga yang terganggu jejakmu berhamburan keluar. Merayap di batang-batang pohon yang seluruhnya hitam.

Tanganmu menyibak belukar tanpa ragu. Kakimu menjejak kabut tanpa takut. Dimana Kematian? Kamu tak punya jawaban. Tapi perih di kulitmu, gemetar di kakimu, dan rasa terbakar di dada, meyakinkanmu, kamu tidak salah tempat. Mungkin di jantung hutan kamu akan menemukannya. Pasti.

Semakin melangkah, kegelapan semakin mencekikmu. Kabut beracun melemahkanmu. Tapi kamu tak sedikitpun melambatkan langkah. Saat mati yang kau cari apa yang bisa membuatmu berhenti? Hanya kenangan yang mampu menarikmu ke belakang. Pelukan ibumu. Tepukan lembut ringan di pundak oleh ayahmu. Cium hangat istrimu. Tawa riang anak-anakmu. Semuanya membebani langkahmu. Memaksamu berputar arah seraya mengucapkan jangan mati berkali-kali. Tapi kamu mengabaikan mereka. Di duniamu kini mereka tinggal di masa lalu, kamu tak akan pernah bertemu mereka lagi sebelum menjumpai Kematian. Karena itu kamu terus berjalan.

Semakin kamu berjalan cahaya semakin menghilang. Udara semakin pekat dan berbau busuk. Kamu tak pernah tahu berapa kali hari sudah berganti. Di hutan ini, rasanya waktu telah berhenti tepat pada suatu tengah malam.

Kelelahan merayap semakin cepat di tubuhmu. Otakmu semakin tak terkontrol, seolah kegelapan telah menguasainya. Semuanya semakin buram, lalu hantu-hantu berkelebat di kanan kirimu. Menertawakan kepedihan hidupmu. Tapi kamu tak peduli. Kamu hanya peduli untuk berjalan. Berjalan dan bertahan.

Lalu pada akhirnya kakimu gemetar tak tertahan. Rubuh. Bertumpu pada lutut kamu merayap ke depan. Tanpa cahaya. Tanpa sisa tenaga. Hanya tekad nekat yang menggerakkan ototmu. Maju. Maju. MAJU.

Tiba-tiba kamu melihat cahaya. Matamu mengedip perih. Putih. Setelah sekian lama terkurung kegelapan, cahaya mengeksposmu, menelanjangimu hingga ke tulang belulang. Lalu hijau.

Mulutmu ternganga.
Bagaimana mungkin di tengah Hutan Hitam ada cahaya serta kehangatan seperti ini? Tanganmu merayap ke atas rumput selembut beludru. Embun dingin mengobati luka di kulitmu. Langit yang biru menyejukkan matamu. Kamu tak ingat matahari pernah seramah dan selembut ini. Angin hangat memeluk tubuh merayap ke jantungmu yang kebas hingga dia berdetak begitu keras. Semua begitu berkilau hingga memaksa air matamu mengalir deras.

Setelah semua usahamu untuk mati. Kamu tertumbuk pada ujung jalan yang terlalu indah.

Di bawah beringin besar di tengah padang rumput, kamu menangis. Menangis dan menggigil tak terkendali hingga lelah membekapmu. Kamu jatuh tertidur memeluk lutut seperti bayi. Tak lagi peduli mungkin besok kamu hidup atau menemui mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun