Lalu pada akhirnya kakimu gemetar tak tertahan. Rubuh. Bertumpu pada lutut kamu merayap ke depan. Tanpa cahaya. Tanpa sisa tenaga. Hanya tekad nekat yang menggerakkan ototmu. Maju. Maju. MAJU.
Tiba-tiba kamu melihat cahaya. Matamu mengedip perih. Putih. Setelah sekian lama terkurung kegelapan, cahaya mengeksposmu, menelanjangimu hingga ke tulang belulang. Lalu hijau.
Mulutmu ternganga.
Bagaimana mungkin di tengah Hutan Hitam ada cahaya serta kehangatan seperti ini? Tanganmu merayap ke atas rumput selembut beludru. Embun dingin mengobati luka di kulitmu. Langit yang biru menyejukkan matamu. Kamu tak ingat matahari pernah seramah dan selembut ini. Angin hangat memeluk tubuh merayap ke jantungmu yang kebas hingga dia berdetak begitu keras. Semua begitu berkilau hingga memaksa air matamu mengalir deras.
Setelah semua usahamu untuk mati. Kamu tertumbuk pada ujung jalan yang terlalu indah.
Di bawah beringin besar di tengah padang rumput, kamu menangis. Menangis dan menggigil tak terkendali hingga lelah membekapmu. Kamu jatuh tertidur memeluk lutut seperti bayi. Tak lagi peduli mungkin besok kamu hidup atau menemui mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H