Mohon tunggu...
Latifa Hanum
Latifa Hanum Mohon Tunggu... Freelancer - just me

Ada suara yang suka bercerita, di dalam kepalaku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ramalan Kematian

16 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 16 Juni 2019   06:11 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan sepertinya ingin menetap di desaku. Sudah berminggu-minggu matahari tak tampak. Langit dipenuhi pemandangan pantat-pantat besar awan kumulonimbus yang hitam. Angin pun bersekongkol. Mereka berlarian di daratan, menggugurkan daun-daun kuning yang putus asa menunggu matahari, tapi tak sedikitpun mengusik awan-awan itu.

Aku disini tak setenang para awan. Istriku berkali-kali mengusikku dengan mengeluhkan daun-daun kuning yang menyumbat sela-sela genting dan membuka jalan bagi hujan untuk menyusup membocori rumahku. Ingin kubilang padanya 'Tunggulah matahari muncul,' tapi aku tahu, itu hanya akan membuat omelannya mulur sepanjang satu kilometer.

Kubuka selimut yang sudah berhari-hari kupakai sampai aroma dan panas tubuhku menempel sempurna padanya. Tulangku mengerang linu saat angin dingin menggelitik menyusup lewat pori-pori kulit keriputku. Kutinggalkan sofa nyamanku. Berbekal jas hujan dan tangga bambu, aku berangkat membersihkan atap.

Pelan kupanjat kaki-kaki tangga yang semakin licin tersiram hujan. Ujung jemariku yang mengeriput kedinginan, menahan tubuhku mendaki tangga yang berkeriut. Ingin rasanya menghisap sebatang rokok mengusir hawa dingin, sayangnya tak mungkin menyalakannya di bawah hujan.  

Jadi aku menghangatkan tubuh dengan mengomel pada awan-awan yang tepat berada di atasku. Mereka tidak mendengarkanku tentu saja. Mungkin kisahnya akan berbeda seandainya aku bisa mengeluh pada istri awan-awan itu, memohon mereka untuk membawa suami mereka pergi ke daerah lain. 

Tentu awan-awan itu akan segera mengangkat bokong mereka dari desaku. Tapi kurasa awan tak punya istri, karena itu mereka bisa berkelana menurunkan hujan dimanapun sesuka mereka.

Hati-hati aku menapaki genteng, mengarah ke bawah rimbun pohon rambutan. Dengan bantuan sapu lidi, kubersihkan daun-daun kuning dan hitam yang menyusup di sela-sela genteng hingga air kembali meluncur lancar ke pelimbahan, tak lagi nyasar ke dalam rumah. Kupikir usahaku ini akan memberiku ketenangan meringkuk di bawah selimut lagi.

Tapi nyatanya setelah aku selesai memperbaiki atap, istriku masih saja mengusik dengan omelan tentang hujan yang tak kunjung reda, cucian yang tak bisa kering, halaman yang kotor dan selusin hal lain. 

Tentu saja dia punya alasan yang bagus untuk mengomel. Setiap istri memiliki gudang penyimpanan sejuta omelan yang akan dikeluarkan setiap hari dalam setiap musim sepanjang tahun.

Lepas isya, aku mengenakan sarung dan jaket. Istriku melirik tajam.

"Mau kemana, Pak?" dia bertanya.

"Berperang dong, Bu. Kan malam minggu sekarang," muka keriput istriku masih masam, "bikinin kopi setermos, ya." Pintaku.

Istriku ke dapur sambil mengoceh soal bolos ronda, nanti batuk, dan entah apalagi, tapi dibuatkan juga kopi setermos yang kupesan. Malah ditambah satu toples penuh keripik singkong yang masih hangat.

"Makasih, sayang." Kataku menggodanya. Istriku membalas dengan mencubit kulit pinggangku yang kendur.

Arena perangku adalah pos ronda kampung yang berdinding papan di tiga sisi. Saat aku tiba, personilnya sudah lengkap. Ronda malam minggu dipilih para buruh serabutan ditambah aku yang pensiunan guru. Para bapak yang ngantor memilih untuk ngantuk di satu hari kerja daripada menghabiskan weekend di pos ronda.

"Wah, kirain Pak Bekti bolos hujan-hujan begini." Budi menyambutku sekalian menyelamatkan kopi dan keripik yang kubawa.

"Kalau aku bolos, bisa kering mulut kalian tanpa kopi panas." Mereka nyengir kuda bersamaan.

Sepi tanpa TV, entah siapa yang memulai obrolan. Topiknya dari politik sampai olahraga, sampai kehabisan tema, sampai luntang lantung cerita sehari-hari yang terkadang lebih seru dari nonton bola.

"Menurut ramalan Mbah Pono, hari ini Sabtu Kliwon aku bakalan sial,..." Budi memulai topik baru,"... ternyata bener kan, sudah giliran jaga, hujan pula." Tambahnya.

Budi memang rajin pasang lotere dan judi ayam, sehingga cukup akrab dengan dunia perdukunan, ramal-ramalan dan hitung-hitungan nasib.

"Kemarin lusa malah istriku beruntung dapet uang 100 ribu dari teh botol." Jaya menimpali.

"Wah, hati-hati, Ja. Keberuntunganmu pasti sudah dihabisin istrimu kemarin itu. Bakal sial seminggu kamu." Sono mengejek.

"Jangan gitu. Uhuk... uhuk... kita setahun penuh dapat hujan, berarti rejeki lancar... hujan kan rejeki, uhukhuk...," kataku.

"Hujan memang rejeki, Pak. Tapi rejeki juga harus dijaga baik-baik. Kalau Pak Bekti batuk-batuk terus, rejekinya ikut keluar lo." Selonong Asto sambil nyengir kurang ajar. Memang kalau hujan dan dingin begini penyakit batukku selalu muncul. Sepertinya batuk memang sudah punya posko tersembunyi di paru-paruku, sehingga dia bisa muncul tiba-tiba sesuka-sukanya.

"Kalau gitu biar saya tadah batuknya, masukin botol, jadiin jimat biar rejeki lancar." Sambar Budi tak mau hilang kesempatan mengejekku. Mereka tertawa-tawa, sementara aku hanya bisa tersenyum kecut kehabisan akal mengelak ataupun membela diri.

Tawa mereka terhenti saat seekor gagak berkaok di atas atap pos ronda. Empat orang muda di dalam pos langsung membeku dengan wajah pucat. Mereka tak berani berbicara bahkan tampak takut pula ketahuan bernapas. Pasti tanpa bantuan Mbah Pono atau Ki Joko Pintar pun mereka sudah paham kalau burung hitam itu konon membawa kabar kematian.

Aku keluar dari pos ronda, memungut sebelah sandalku, lalu melemparkannya ke atap. Meskipun tak kena, tampaknya si gagak itu takut --entah karena sandalku atau karena batukku yang lebih fals dari kaokan mautnya---dan memilih terbang entah kemana.

"Uhuk... huk... kalian kan berani makan ayam, masak takut sama gagak, huk... huk...." Muka mereka pucat sambil saling berpandangan. Jaya mengemasi termos dan toples keripikku yang sudah kosong.

"Pak Bekti makin parah batuknya. Pulang saja ya, Pak." Bujuk Budi.

Mungkin mereka merasa kalau melempar gagak dengan sandal bisa membawa sial, dan kesialan mudah menular layaknya influenza. Tapi aku tak menolak. Kurasa aku memang butuh selimut hangat sebelum paru-paruku benar-benar melompat keluar. Aku pulang dengan sebelah sandal dan kekalahan.

Di rumah aku langsung naik ke ranjang, mendempel istriku, berusaha mencuri kehangatan.

***

"Pak, bangun." Rasanya baru sedetik terlelap, istriku sudah menggoyang badanku.

"Apa sudah subuh, Bu?" tanyaku.

"Bukan. Itu ada rame-rame apa di luar?"

Kutajamkan telinga. Benar, ada keriuhan di luar. Dengan mata masih setengah terpejam, aku bergegas keluar dari selimut, mencari-cari jaket, sarung dan payung. Istriku membuntutiku keluar. Di depan rumah, kutanya Pak Bagas yang tengah tergopoh menuju suatu tempat.

"Ada apa, Pak?"

"Loh, Pak Bekti enggak ikut ronda? Itu, pos ronda ditabrak truk, Pak."

"Astaghfirullah...,"

Aku segera membuntuti Pak Bagas. Mendesak, menyempil di antara payung-payung warga yang berkerumun, mencari celah mendekati pos ronda. Sebagian korban sudah dievakuasi dengan mobil Pak RT. Yang kulihat hanya Asto yang kakinya patah tertekuk ke arah yang salah, mengerang saat diangkat ke atas pick up.

Truk yang menabrak masih di tempatnya. Mukanya penyok setelah menabrak pohon asam di samping pos ronda. Katanya, si sopir diduga sudah tewas minum oplosan sebelum menabrak pos ronda.

Tak lama polisi dari polsek datang lalu membuat batas dari pita kuning. Semua warga masih bergerombol, mendengung, mengobrol.

"Budi bablas." Kata seseorang di tengah kerumunan.

"Katanya Budi sudah diramal Mbah Pono bakal sial hari ini." Seseorang lagi bicara, entah siapa.

"Dulu aku pernah diramal Mbah Pono juga tepat." Yang lain lagi menimpali. Lalu semua semakin ramai saling timpal menimpali.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah Mbah Pono juga pergi ke dukun? Lalu dukunnya dukun itu memberi tahu bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya? Bahwa sejak hari ini usahanya akan semakin maju, semakin banyak pelanggan? 

Tapi mungkin juga tidak, kalau Mbah Pono tidak melebarkan sayap bisnisnya pada usaha jimat. Sebab, untuk apa manusia meramal masa depan jika tidak bisa menolak kesialan dan kematian yang akan datang.

Aku menjauhi kerumunan sambil berdoa dalam hati, agar kelak jika aku mati, aku akan mati begitu saja seperti daun yang gugur. Hilang lalu dilupakan. Biarlah istriku saja yang mengomel, tak perlu orang lain meramalkan apalagi sampai mempergunjingkan matiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun