Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sayang, Ayah Ingin Dikremasi

1 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 1 Juni 2020   06:28 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayangku, Ayah Ingin Dikremasi

Ayah Calvin bergerak gelisah. Seorang suster berbadan mungil mencabut selang dari lengannya. Bunyi langkah kaki disusul tutup koper yang dibuka menandakan kesibukan di paviliun rumah sakit. Jose mondar-mandir di sekeliling ruangan, mengemasi barang-barang ayahnya.

"Jose Sayang, kamu bolos sekolah berhari-hari. Memangnya nggak takut ketinggalan pelajaran?"

Suara lembut sang ayah membuat gerakan tangannya terhenti. Jose menggigit bibir, masih merasakan geletar kesedihan tiap kali pertanyaan semacam itu dilontarkan.

"Nggak apa-apa. Jose mau berhenti sekolah aja, biar bisa jaga Ayah terus," ujarnya tanpa memandang mata Ayah Calvin.

Rona kecewa tertinggal di seraut wajah tampan itu. Paras yang belum dihinggapi keriput dan tetap awet muda. Ayah Calvin tak senang mendengar perkataan anak tunggalnya.

"Nope. Jangan berhenti sekolah. Kamu harus tetap belajar. Minimal homeschooling kalau kamu memang ingin berhenti dari sekolah formal. Ayah yang akan mengajarimu."

Seperti deja vu, Jose terseret lautan kenangan. Kenangan saat ia menjalani homeschooling selama beberapa waktu. Ayah Calvin sendirilah yang turun tangan menjadi guru pendampingnya.

"Iya...Ayah." Jose menyahut, tenggorokannya tercekat.

Kecewa berganti senyuman. Namun, senyum itu sekejap pudar. Ayah Calvin kembali gelisah. Tak henti ia melayangkan pandang ke jendela.

Menangkap gelagat ayahnya, Jose menyudahi kegiatan berkemas. Ia berjalan ke dekat ranjang. Lembut disentuhnya jemari Ayah Calvin. Ditanyakannya penyebab kegelisahan pria yang lahir di awal Desember itu.

"Sayang, kita akan pulang, kan?" Alih-alih menjawab, Ayah Calvin balik melempar pertanyaan.

Jose mengangguk. Dia tenangkan ayahnya jika mereka akan pulang sebentar lagi. Ternyata Ayah Calvin takut mereka takkan bisa pulang. Entah dari mana rasionalisasinya.

Raut wajah dan tatapan matanya sungguh menipu. Ketenangan yang diperlihatkannya hanya kamuflase semata. Jose mengomeli Liza dalam hati. Bertanya-tanya mengapa gadis itu tak juga datang. Menyesal Jose mengizinkan Liza membawa mobilnya semalam. Mestinya ia antar saja Liza pulang ke rumah, lalu mobilnya bisa dibawa kembali ke rumah sakit.

Sekeping ingatan semalam membangunkan lamunan. Liza melewatkan harinya dengan menemani Jose menjaga Ayah Calvin. Dia bahkan menolak tawaran Antonius untuk dating. Padahal tunangannya itu akan berangkat ke London selama sebulan untuk urusan bisnis. Bukannya menghabiskan hari terakhir dengan pujaan hati, Liza justru mencurahkan perhatian untuk Jose yang hanya berstatus sahabat. Jose pun tak habis pikir dengan keputusan Liza.

"Kapan kita pulang?" Ayah Calvin mendesah resah, bersandar di kepala ranjang.

"Sebentar lagi, Ayah. Sebentar lagi..." balas Jose sabar.

Pria muda itu merutuki keterlambatan Liza. Kalau sampai hitungan keduapuluh Liza tak datang, lihat saja nanti. Mulai dihitungnya menit pertama.

Sepuluh menit. Lima belas menit. Tujuh belas menit. Sembilan belas menit. Sembilan belas setengah...

"Aku datang! Maaf Jose, Ayah Calvin, aku terlambat."

Liza berlarian menerobos pintu ganda. Sedikit peluh membasahi wajah cantiknya. Rambutnya terburai. Jose geleng-geleng melihat tampilan berantakan gadis itu.

"Kamu...datang bukannya salam dulu malah lari-larian," kecam Jose pelan.

"Oh iya..." Liza tersenyum malu, lalu berbalik ke pintu.

"Mau ngapain lagi?"

"Mau mengucap salam. Aku ulangi."

Susah payah Jose menahan senyum. Dia belum bisa melepas sikap dinginnya. Memahat tanda tanya di hati Liza atas perubahan drastis itu. Walau begitu, dia tetap membersamai Jose sekalipun dinginnya mengalahkan gletser.

Sejurus kemudian, Jose meraih pegangan koper dengan tangan kanan. Tangan kirinya menggandeng tangan Ayah Calvin. Dengan sigap, Liza merebut koper hitam itu.

"Jangan bodoh, airport man. Memangnya buat apa aku jauh-jauh ke sini kalau bukan untuk membantumu?" Gadis cantik bergaun biru muda itu merepet panjang. Menyeret koper keluar paviliun.

Ayah Calvin tersenyum. Sementara itu, Jose manyun. Sebal sekali dengan perhatian Liza yang berlebihan. Cepat juga Tuhan membalikkan perasaan. Dulu ia sangat menyukai perhatian Liza.

"Dia baik sekali, ya." Ayah Calvin mengarahkan tatapan pada Liza.

Si gadis yang jadi objek pembicaraan terbatuk pelan untuk menyamarkan tawa. Jose menghempas napas kesal. Menahan diri untuk tidak melempar tanggapan sumir di depan ayahnya.

Halaman rumah sakit disiram cahaya matahari. Sempat terjadi insiden tak penting saat Jose dan Liza berebut kunci mobil. Liza berkeras ingin menyetir agar Jose fokus menjaga ayahnya. Harga diri Jose sebagai pria serasa robek jika dirinya disupiri seorang wanita. Kalau tak melihat paras pucat Ayah Calvin dan kulit putihnya yang memerah akibat panas, perebutan kunci mobil masih akan lama berakhir. Umur awal dua puluhan belum melumerkan ego mereka.

Alhasil Jose merelakan harga dirinya berantakan. Ia duduk di bangku belakang bersama Ayah Calvin. Liza fokus menyetir. Bibirnya terkulum dalam senyum geli. Antara muak melihat senyum gadis pujaannya dan lelah dengan segala keruwetan yang melanda beberapa hari belakangan, Jose meletakkan kepalanya di pangkuan Ayah Calvin.

Lembut tangan Ayah Calvin mendarat di kepala Jose. Ah, bagaikan mengulang masa kecil. Mata Jose terpejam menikmati belaian ayahnya. Peduli amat bila ada wartawan melihat.

Liza melengkungkan bibir membentuk senyum lembut. Ditatapinya ayah dan anak itu dari balik kaca spion. Dia satu dari sedikit teman baik Jose yang memahami pola interaksi itu.

Tak semua orang bisa mengerti. Sering kali ada yang menyalahartikan Jose anak Ayah Calvin yang kelewat manja. Beranjak dewasa pun ia masih diperlakukan seperti ketika ia masih anak-anak oleh ayahnya. Memang begitulah cara Ayah Calvin mengekspresikan cinta kasihnya. Liza mengerti, sangat mengerti dan ia tidak menghakimi. Ia justru senang memperhatikan hangatnya interaksi Jose dan Ayah Calvin.

"Maafkan Ayah ya, Nak. Ayah merepotkan kamu." Ayah Calvin berbisik, memberikan elusannya di rambut Jose.

"Kenapa minta maaf? Ayah nggak salah. Dari dulu Ayah selalu begitu."

Sebuah lagu terputar di radio mobil. Lagu itu representatif untuk Ayah Calvin. Tak puas-puas Jose memandangi wajah ayahnya, hartanya yang paling berharga. Sesekali ia menyanyi mengikuti alunan lagu.

Sulit bagiku

Menghadapi kamu

Tapi ku takkan menyerah

Kau layak kuperjuangkan

Perih bagiku

Menahan marahku

Tapi ku akan lakukan

Bahkan lebih dari itu

Aku yang minta maaf walau kau yang salah

Aku kan menahan walau kau ingin pisah

Karna kamu penting

Lebih penting

Dari semua yang ku punya

Jika kamu salah aku akan lupakan

Walau belum tentu kau lakukan yang sama

Karna untukku kamu lebih penting dari egoku.

Perih bagiku

Menahan marahku

Tapi ku akan lakukan

Bahkan lebih dari itu

Aku yang minta maaf walau kau yang salah

Aku kan menahan walau kau ingin pisah

Karna kamu penting

Lebih penting

Dari semua yang ku punya

Jika kamu salah aku akan lupakan

Walau belum tentu kau lakukan yang sama

Karna untukku kamu lebih penting dari egoku.

Aku yang minta maaf walau kau yang salah

Aku kan menahan walau kau ingin pisah

Karna kamu penting

Lebih penting

Dari semua yang ku punya

Jika kamu salah aku akan lupakan

Walau belum tentu kau lakukan yang sama

Karna untukku kau lebih penting dari egoku (Mawar De Jongh-Lebih Dari Egoku).

Ayah Calvin selalu, selalu mementingkan dirinya. Demi Jose, Ayah Calvin meninggalkan perusahaan dan yayasan untuk mendampinginya. Biarlah perusahaan diurus oleh tangan kanan asalkan anaknya bisa selalu dekat dengannya.

**  

"Sayang, kenapa seragam sekolahmu kekecilan begini? Atau kamu yang bertambah besar?"

Sepasang tangan pucat itu mengobrak-abrik walking closet. Mencari seragam sekolah yang ukurannya pas. Jose mengawasi dengan sedih. Ayahnya sungguh telah berubah.

"Anak Ayah yang tambah besar kayaknya," ucap pria itu sambil lalu.

Nihil usahanya menemukan seragam sekolah. Ayah Calvin melangkah keluar dari walking closet ke ruang istirahat. Tertatap olehnya jam di dinding. Jarum panjangnya tepat menyentuh angka enam.

"Ayah mau berdoa dulu, ya."

Jose refleks memutar tubuh. Menatap sang ayah dengan sorot mata kebingungan. Bukankah jam enam pagi sudah lewat waktu Subuh? Belum sempat ungkapan keheranan terucap, Ayah Calvin keburu bertanya.

"Dimana kamu letakkan hio, Sayang?"

Hati Jose terasa disengat listrik ratusan volt. Tidak, ini tidak mungkin. Jerit kepedihan bergema di lorong-lorong panjang hatinya, pedih amat pedih. Ternyata Ayah Calvin melupakan perubahan jalan yang ia pilih sendiri.

Dengan sedih, disaksikannya Ayah Calvin sembahyang dengan caranya yang lama. Pria tampan berhati lembut itu lupa dengan caranya menyebut nama Tuhan yang dipilihnya sendiri di usia dewasa.

Jose berusaha melesapkan sedih hatinya. Ia menyibukkan diri untuk bersiap-siap ke kantor. Jadwal meeting dengan relasi bisnis pagi ini memaksanya meninggalkan Ayah Calvin. Nanti akan ada perawat yang menjaga ayahnya.

Usai sembahyang, Ayah Calvin kembali ke sisi anaknya. Tersenyum penuh kasih memperhatikan pantulan bayangan Jose di cermin panjang.

"Anak Ayah tampan sekali. Kenapa pakai jas? Bukannya pakai seragam?" Ayah Calvin bertanya seraya memajukan tubuh. Ia lalu merapikan kerah jas putranya.

"Seragamnya ganti, Ayah. Murid-murid disuruh pakai jas." Jose mengarang alibi.

Rambut Jose berantakan. Tanpa diduga, Ayah Calvin menyisir rambut Jose. Persis seperti yang dilakukannya belasan tahun lalu. Pelan-pelan disisirinya rambut tebal itu. Sambil menyisir rambut anak semata wayangnya, Ayah Calvin berkata lembut.

"Sayangku, Ayah ingin dikremasi."

Jose terkesiap. Lehernya sakit. Ia tertunduk menatap karpet. Mendadak kamarnya dicekam rasa dingin, walau AC telah disetel pada angka 23.

"K-kenapa, Ayah? Kenapa Ayah ingin dikremasi?" Jose bergumam lirih, kedua tangannya saling remas.

"Biar anak Ayah tidak perlu repot mengurus kuburan ayahnya."

Siapakah yang akan menegarkan hatinya? Seketika Jose ingin marah, ingin melukai wajah tenang itu. Pemilik wajah tenang yang kini menyisir rambutnya. Ada dua hal yang paling ditakuti Jose. Bukan bangkrut, bukunya tak laku, atau tak lagi dapat undangan jadi pembicara di seminar toleransi. Dua hal itu tak lain tak bukan adalah kehilangan Ayah Calvin dan melihat sang ayah dikremasi. Kedua hal itu benar-benar akan menghancurkan ha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun