"Sayang, kita akan pulang, kan?" Alih-alih menjawab, Ayah Calvin balik melempar pertanyaan.
Jose mengangguk. Dia tenangkan ayahnya jika mereka akan pulang sebentar lagi. Ternyata Ayah Calvin takut mereka takkan bisa pulang. Entah dari mana rasionalisasinya.
Raut wajah dan tatapan matanya sungguh menipu. Ketenangan yang diperlihatkannya hanya kamuflase semata. Jose mengomeli Liza dalam hati. Bertanya-tanya mengapa gadis itu tak juga datang. Menyesal Jose mengizinkan Liza membawa mobilnya semalam. Mestinya ia antar saja Liza pulang ke rumah, lalu mobilnya bisa dibawa kembali ke rumah sakit.
Sekeping ingatan semalam membangunkan lamunan. Liza melewatkan harinya dengan menemani Jose menjaga Ayah Calvin. Dia bahkan menolak tawaran Antonius untuk dating. Padahal tunangannya itu akan berangkat ke London selama sebulan untuk urusan bisnis. Bukannya menghabiskan hari terakhir dengan pujaan hati, Liza justru mencurahkan perhatian untuk Jose yang hanya berstatus sahabat. Jose pun tak habis pikir dengan keputusan Liza.
"Kapan kita pulang?" Ayah Calvin mendesah resah, bersandar di kepala ranjang.
"Sebentar lagi, Ayah. Sebentar lagi..." balas Jose sabar.
Pria muda itu merutuki keterlambatan Liza. Kalau sampai hitungan keduapuluh Liza tak datang, lihat saja nanti. Mulai dihitungnya menit pertama.
Sepuluh menit. Lima belas menit. Tujuh belas menit. Sembilan belas menit. Sembilan belas setengah...
"Aku datang! Maaf Jose, Ayah Calvin, aku terlambat."
Liza berlarian menerobos pintu ganda. Sedikit peluh membasahi wajah cantiknya. Rambutnya terburai. Jose geleng-geleng melihat tampilan berantakan gadis itu.
"Kamu...datang bukannya salam dulu malah lari-larian," kecam Jose pelan.