Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Papa dan Ayah Special Part] Takdir Pedih Dua Ayah Kembar

11 Mei 2020   06:00 Diperbarui: 11 Mei 2020   06:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Takdir Pedih Dua Ayah Kembar


-Fragmen si kembar

Seminggu menjelang hari raya, Adica biasa membawa Silvi ke suatu tempat. Tempat itu jauh dari hingar-bingar kemewahan. Letaknya empat puluh kilometer dari rumah mereka. Calvin tak pernah ikut. Sebagian besar waktunya habis untuk sakit.

"Ayah nggak ikut lagi?" tanya Silvi ketus.

Adica menggeleng. Mengisyaratkan Silvi untuk melanjutkan mengemasi keranjang santunan.

"Ayah memang payah. Sakit-sakitan terus sih,"

Dari balik kaca partisi one way, Calvin memperhatikan kesibukan adik kembar dan putrinya. Lantai marmer ruang tamu dipenuhi keranjang rotan. Isinya amplop tebal penuh uang, kue kering, buah-buahan, biskuit, mainan, baju baru, dan buku bacaan. Ia tersenyum tipis saat memandangi kunciran ponytsil Silvi yang bergerak-gerak lucu. Dialah yang mengikat rambut Silvi tadi pagi.

"Sudah, jangan cerewet. Lanjutkan berkemas. Dan Ayahmu tidak payah," tegur Adica.

Silvi mendongak. Bungkusan besar permen tergenggam di tangan.

"Ayah nggak berguna. Ajak Silvi jalan-jalan keluar aja nggak bisa. Ke kantor nggak pernah, ikut ibadah kayak kita nggak pernah, temenin kita bersepeda dan naik gunung nggak pernah. Kita nggak makan dari Subuh sampai Maghrib, Ayah tetap makan tuh. Ayah nggak berguna!" Silvi memaki-maki. Menumpahkan kesebalannya pada sang ayah.

Lautan kesabaran Adica tak seluas Calvin. Maka, pria berjas biru gelap itu hanya berkata.

"Ayahmu istimewa. Suatu saat nanti, kamu akan mengerti mengapa Ayah tak bisa seperti kita."

Ujaran Adica ditingkahi dengusan sinis Silvi. Gadis kecil itu mengangkat keranjang rotan yang berat. Bersama papanya, ia melangkah ke pintu.

Tak butuh waktu lama bagi Silvi dan Adica. Kini mereka duduk di dalam SUV hitam yang melaju di ruas jalan utama. Kendaraan mewah beroda empat itu membelok di tikungan, menjauh dari keramaian.

Kawasan pinggir kota mereka datangi. Rumah-rumah di sini ukurannya hanya sebesar teras rumah Silvi. Tiap rumah tak punya halaman. Aroma pekat sungai yang tercemar bercampur limbah rumah tangga menunggang udara.

Tangis bayi-bayi kelaparan menusuk telinga Silvi. Di sebuah rumah kecil yang bentuknya menyerupai kabin, ia lihat tujuh anak berkumpul bersama lelaki tua berpenampilan acak-acakan. Anak terkecil berteriak mencari ibunya. Silvi tahu tentang keluarga itu. 

Mereka anak-anak piatu yang menggantungkan hidup dari sampah rumah tangga. Hidup mereka, rumah mereka, dan nasib mereka tanpa ibu sekilas mengingatkannya pada Keluarga Ewell di novel klasik To Kill A Mockingbird.

"Papa..." Silvi merapat pada Adica, sedih bercampur kasihan.

Dengan canggung, Adica mengelus rambut Silvi. Ia bukanlah Calvin yang terbiasa melakukan skinship sebagai ungkapan perasaan sayang. Ditatapnya iris kebiruan milik putri tunggalnya. Silvi, anak berbibir tajam dan berhati rapuh.

"Apa Silvi ingin punya ibu?" Lirih Adica melempar tanya.

"Nggak. Cukup Papa dan Ayah. Silvi nggak mau punya ibu."

Adica menggigit bibir. Wajah tampannya bersalut kecewa. Penolakan Silvi akan kehadiran seorang ibu memupus harapan. Putri kecil bergaun putih ini separuh jiwanya. Mana mungkin dia menentang keinginan Silvi?

**   

Calvin menutup pintu utama. Menaiki tangga pualam. Kata-kata dokter penyakit dalam terus terngiang.

Stadium 3A.

Stadium 3A.

Stadium 3A.

Sudah separah itukah?

Tiga malam berturut-turut ia bermimpi. Mimpi buruk tentang suaranya yang hilang. Apa jadinya bila seorang Calvin Wan yang pernah menghabiskan lima tahun masa remaja sebagai pewara, akan kehilangan suara?

Embusan pendingin udara menyambutnya setiba di kamar. Perlahan ia lepas jas dan dasinya. Diraihnya pakaian ganti. Pintu kamar mandi pribadi dia geser. Tak lupa sebelumnya ia mengubah kaca pembatas kamar mandi dalam mode buram.

Air hangat. Busa sabun. Permukaan putih bathtub. Tiga entitas itu sedikit meredakan gemuruh kecemasan dalam pikirannya. Pria oriental bermata sipit yang masih seksi itu terlarut dalam renungan. 

Keputusannya untuk menjadi komisaris utama di perusahaan sudah benar. Biarlah kembarannya saja yang memegang posisi direktur utama. Silvilah yang menyita perhatian. 

Bagaimana nasib anak cantik itu bila tanpa Ayahnya? Siapa yang akan menguncirkan rambutnya, memotongkan kukunya, membacakannya buku, mengambilkan rapor, dan menemaninya belajar? Tak mungkin mengharapkan Papa super sibuk bakal menggantikan.

Selesai membilas diri, Calvin memainkan piano. Tak hanya bermain piano, ia pun bernyanyi dan merekamnya. Terlalu besar ketakutannya kehilangan suara.

Akan datang hari mulut dikunci

Kata tak ada lagi

Akan tiba masa tak ada suara

Dari mulut kita

Berkata tangan kita

Tentang apa yang dilakukannya

Berkata kaki kita

Ke mana saja dia melangkahnya

Tidak tahu kita bila harinya

Tanggung jawab tiba... (Chrisye-Ketika Tangan dan Kaki Berkata).

Jarum-jarum waktu berjatuhan. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul lima sore. Calvin bergegas turun ke lantai bawah. Dimasakkannya chicken cordon bleu dan caramel flan kesukaan Silvi.

Senyum hangat sang ayah menyambut kepulangan Silvi. Harum daging ayam bersaus keju dan puding khas Spanyol dengan campuran karamel makin melengkapi. Calvin bersikap seolah tak terjadi sesuatu yang buruk.

"Apa kata dokter?" Adica bersiap menginterogasi, tetapi Calvin mengangkat tangannya.

"Nanti malam aku akan ke kamarmu, Adica."

Si kembar punya jadwal khusus untuk story telling. Biasanya, mereka akan bercerita kejadian yang dialami sepanjang hari.

Selesai makan, Silvi kekenyangan dan mengantuk. Calvin menggendongnya ke kamar. Menyelimuti Silvi dengan penuh kasih sayang.

"Selamat tidur, Sayangku. Ayah mencintaimu," bisiknya.

Silvi terlelap. Calvin mencium keningnya. Hangat tangannya membelai mahkota indah milik Silvi. Tak puas-puas ia tatapi wajah putri semata wayang. Menghidupkan kembali segala ingatan.

Ketenangan hati yang baru dirasakan sesaat mulai robek. Calvin terbatuk. Dahak kemerahan mengalir dari sudut bibir. Rasa sakit menjalari punggung hingga dada. Terburu-buru ia bangkit. Terpaksa ia menodai kamar mandi Silvi dengan darahnya.

"Tuhan...jangan sekarang. Jangan sekarang," rintihnya.

Dituntun intuisi, Silvi terbangun. Ia kaget mendapati Ayahnya berdarah.

"Ayah...Ayah!" Silvi terisak. Walau siang tadi makian terlontar untuk sang ayah, hati Silvi galau luar biasa.

"Tidak apa-apa, Sayangku. Tidak apa-apa."

Suara lembut itu, rengkuhan hangat itu, menyamankan Silvi. Air mata meluncur turun, terjun bebas membasahi pipi. Calvin mengusap lembut kesedihan yang mengkristal di pelupuk mata anak perempuannya.

"Ayah sakit," desah Silvi.

"Ayah tidak akan meninggalkan Silvi. Apa pun yang terjadi."

Calvin tak tahu, sungguh tak pernah tahu takdir apa yang menunggunya di masa depan. Meski diliputi ketidakpastian, Calvin mencintai Silvi selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun