Lautan kesabaran Adica tak seluas Calvin. Maka, pria berjas biru gelap itu hanya berkata.
"Ayahmu istimewa. Suatu saat nanti, kamu akan mengerti mengapa Ayah tak bisa seperti kita."
Ujaran Adica ditingkahi dengusan sinis Silvi. Gadis kecil itu mengangkat keranjang rotan yang berat. Bersama papanya, ia melangkah ke pintu.
Tak butuh waktu lama bagi Silvi dan Adica. Kini mereka duduk di dalam SUV hitam yang melaju di ruas jalan utama. Kendaraan mewah beroda empat itu membelok di tikungan, menjauh dari keramaian.
Kawasan pinggir kota mereka datangi. Rumah-rumah di sini ukurannya hanya sebesar teras rumah Silvi. Tiap rumah tak punya halaman. Aroma pekat sungai yang tercemar bercampur limbah rumah tangga menunggang udara.
Tangis bayi-bayi kelaparan menusuk telinga Silvi. Di sebuah rumah kecil yang bentuknya menyerupai kabin, ia lihat tujuh anak berkumpul bersama lelaki tua berpenampilan acak-acakan. Anak terkecil berteriak mencari ibunya. Silvi tahu tentang keluarga itu.Â
Mereka anak-anak piatu yang menggantungkan hidup dari sampah rumah tangga. Hidup mereka, rumah mereka, dan nasib mereka tanpa ibu sekilas mengingatkannya pada Keluarga Ewell di novel klasik To Kill A Mockingbird.
"Papa..." Silvi merapat pada Adica, sedih bercampur kasihan.
Dengan canggung, Adica mengelus rambut Silvi. Ia bukanlah Calvin yang terbiasa melakukan skinship sebagai ungkapan perasaan sayang. Ditatapnya iris kebiruan milik putri tunggalnya. Silvi, anak berbibir tajam dan berhati rapuh.
"Apa Silvi ingin punya ibu?" Lirih Adica melempar tanya.
"Nggak. Cukup Papa dan Ayah. Silvi nggak mau punya ibu."