Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | White Mansion

22 April 2020   06:00 Diperbarui: 22 April 2020   06:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua alis Bunda Manda bertaut. Ikut suaminya ke White Mansion? No way! Lebih baik dia tinggal di rumah Hobbit dari pada harus menginjakkan kaki di rumah utama.

“Tidak mau! Kau sendiri sana yang pergi! Dan jangan bawa Silvi!” gertak Bunda Manda.

“Pasti kau tak tahan hidup di sini!//”

Tuduhan Bunda Manda dijawab gelengan. Terpaksa Ayah Calvin menjelaskan situasi. Perdebatan alot tak terelakkan. Silvi yang hampir menangis menyelamatkan Ayah Calvin. Akhirnya Bunda Manda bersedia ikut. Asalkan mereka naik bus. No mobil pribadi, no taksi.

Sepuluh menit kemudian, mereka berjalan menyusuri trotoar. Silvi bertengger di bahu Ayah Calvin. Bunda Manda melenggang santai. Sama sekali tak berniat membantu suaminya yang kerepotan menggendong Silvi sambil menyeret koper kecil. Halte bus lengang sesampai mereka di sana.

Bus kota yang mereka tunggu meluncur. Badan birunya yang mencolok mudah dikenali dari jarak beberapa meter. Tak perlu khawatir kehabisan tempat duduk. Hanya ada dua penumpang ketika mereka naik. Ketiganya bebas memilih kursi. Silvi duduk sendirian, hidungnya menempel ke kaca jendela. Ayah-Bundanya menempati bariskursi di sebelah.

Ayah Calvin naik bus kota, tak ubahnya Monalisa tersasar ke kandang itik. Sosoknya sejanggal Winona Ryder di kamp para pengidap kusta. Bus tua itu tak cocok untuknya. Toh pria lembut hati itu menikmati juga. Keseringan naik mobil berpendingin udara bosan juga.

Bunda Manda bersandar nyaman di tempat duduk. Semilir angin sore memanggil kantuk. Ketika matanya hampir terpejam, ia rasakan tubuhnya ditarik. Udara khas kota besar yang ditiupkan angin berganti harum maskulin. Oh my goodness, Bunda Manda rebah di pelukan seseorang. Siapa lagi kalau bukan...

Sayup daun telinganya menangkap suara bass amat lembut. Suara itu bernyanyi merdu.

Aku masih termenung

Di tengah kesepian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun