Anak cantik itu gemetar dan menangis. Adica paham, sangat paham. Sering melihat Calvin mimisan membuat Silvi trauma.
"Kenapa Papa kayak Ayah? Kenapa Papa mimisan?" tangis gadis bermata biru itu.
Embun menetesi hati Adica. Silvi memperhatikannya, Silvi mencemaskannya. Lihatlah, Silvi menangis hanya karena hidungnya berdarah. Pastilah sedikit aneh, tak sesuai dengan konvensi yang terbentuk di kepala gadis itu. Yang biasa mimisan, kan, Ayah Calvin.
Adica memeluk Silvi dengan lembut. Dibelainya rambut panjang putri tunggalnya penuh kasih. Diciuminya kening Silvi, seperti yang biasa dilakukan Calvin. Mau tak mau Adica merasa ganjil. Dapat dihitung dengan jari berapa kali dia mendekap Silvi dalam setahun. Mencium keningnya tak pernah. Text ignorance, workaholic, dan sedingin es, itulah dia. Tapi senja ini...?
"I don't want to loose you! Papa satu dari sedikit orang yang berdiri di sisiku! Aku tak mau kehilangan Papa!" Silvi terisak hebat, menelungkup di pangkuan Adica.
"Hey Dear, no...no, you don't loose me. I won't leave you. You can cry to me as long as you want. You can lend my shoulder. Trust me, I won't leave you. You can tell me, bad things and good things, hapiness or sadness. I'll be here for you. Ok?"
Lembut, lembut sekali ia menenangkan Silvi. Jangan kira Adica tak bisa selembut Calvin. Darah segar pada luka hatinya telah mengering. Sedikit perasaan berharga mengaliri urat darahnya.
"Papa...Papa jangan sakit seperti Ayah." Rintih Silvi.
"No worries, Dear. I'm completely health."
Kirim aku malaikatmu
Karena ku sepi berada di sini