"Sini, Sayangku. Sini ..."
Dengan lembut, Ayah mengangkat tubuhku ke pangkuannya. Aku mencengkeram erat tepi jasnya. Sekali-dua kali Ayah masih terbatuk. Kutangkap bercak darah di sudut bibirnya.
"Jangan menyerang dirimu sendiri, Sayang. Ini yang terakhir ya ...Sayangku, anak kesayangan Ayah, anak pintar. Ini yang terakhir ya ..."
Enak saja Ayah memintaku. Dia saja melupakanku.
Malam berikutnya, aku minta tidur bersama Papa. Kali ini Papa mau melakukannya. Belakangan baru kutahu kalau Ayah yang membujuk Papa agar mau menemaniku sebelum tidur.
Anehnya, ketenangan itu tak lagi ada saat berbagi kamar dengan Papa. Aku bahkan bermimpi buruk lagi. Berbeda ketika aku bersama Ayah.
"Ayah ...Ayah, aku mau Ayah." Rintihku di larut malam itu.
Rintihanku berubah menjadi teriakan. Teriakanku membangunkan seisi rumah mewah ini. Ya, rumah sebesar ini hanya ditempati kami bertiga. Papa hampir saja mengomeliku kalau tidak melihat wajahku yang kusut.
"Kamu ini merepotkan saja. Benar, kan? Pada akhirnya, toh kamu menginginkan Ayahmu."
Diiringi gerutuan panjang, Papa menyerahkanku pada Ayah. Sepasang ayah kembar itu sejenak saling pandang. Mereka memang kembar, tetapi sifat mereka bertolak belakang.
Aku kembali ke pelukan Ayah. Ayah, pemberi rasa nyaman, cahaya hidupku, malaikat penenteram perasaanku. Hari ini, esok, dan seterusnya, Ayah akan selalu menjadi pemberi rasa nyaman yang menenteramkan jiwaku.