Opus 1
Ayahku Ada Dua
-Fragmen Silvi
Seumur hidup aku tinggal bersama mereka. Bahagia? Tentu saja. Tapi, kalau boleh jujur, aku lebih senang ada di dekat Papa ketimbang di samping Ayah.
Papa memulas monokrom di lembar hariku dengan butiran warna pelangi. Senyumnya, tawanya, keceriaannya, optimismenya, dan semangatnya menyegarkan hatiku. Energiku selalu terisi penuh tiap kali Papa di sisiku. Hmmm, sayang sekali. Papa sering asyik sendiri di perusahaan. Aku paling sebal kalau Papa tidak mengangkat telponku hanya karena rapat ini dan itu.
Kalau Papa kelewat sibuk, aku hanya ditemani Ayah. Ayahku pendiam. Ia jarang sekali membuka pembicaraan. Aku yang mendominasi percakapan selama aku membersamainya.
Buatku, Ayah tak berguna. Ia tak seperti ayah teman-temanku yang pergi ke kantor saat mentari terbit dan pulang ketika bulan memeluk malam. Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Sempat aku berpikir kalau Ayah tidak punya pekerjaan. Namun, Papa menegurku.
"Kamu jangan bilang gitu, Silvi. Ayahmu orang hebat."
Orang hebat apaan? Berdiam diri seharian di rumah, sesekali bermain laptop dan iPhone, dianggap hebat? Mungkin Papa hanya ingin menyenangkan hati Ayah.
Walaupun kembar, Ayah selalu menyebut Papa lebih tampan darinya. Papa merasa jengah. Tapi, dia tak bisa membantah.
Entahlah. Bagiku, Papa dan Ayah sama tampannya. Aku beruntung bisa diasuh dua pria orientalis.
Pernah aku membawa teman-teman ke rumahku untuk mengerjakan tugas kelompok. Kebetulan Papa ada di rumah. Ia dan Ayah sedang menulis sesuatu di notebook. Ketika melihat Papa dan Ayah, teman-temanku speechless.