Raisa dan Silvi adalah sepasang mahasiswi minoritas di sebuah kampus. Kampus mereka terkenal dengan homogenitas yang kental, ditambah tingkat religiositas yang kuat. Agama mayoritas menjadi kubu terkuat di kampus mereka.
Dua mahasiswi cantik ini terjebak dalam kelompok minoritas. Sebab, tampilan fisik dan tingkat kecerdasan mereka berbeda dengan kebanyakan teman-teman mereka. Raisa sangat genius, sedangkan Silvi penghapal yang baik dan berbakat di beberapa bidang. Paras mereka cantik. Silvi memiliki mata biru ala kebarat-baratan yang mempercantik penampilannya. Sedangkan wajah Raisa kebule-bulean.
Menjelang akhir masa studi, perundungan yang dialami Raisa dan Silvi semakin memprihatinkan. Tak ada yang mau duduk di samping mereka. Keduanya sulit mendapatkan kelompok bila ada tugas. Kebaikan Silvi yang sering berbagi coklat pada teman-temannya disalahartikan.
Puncaknya, Raisa harus cuti selama setahun untuk urusan keluarga. Sebelum cuti, Raisa mendapat salam perpisahan super pedas dari teman-teman sekelas. Ia disebut "Muka Katolik". Pada saat bersamaan, Silvi dijauhi seorang mahasiswi aktivis dakwah kampus hanya karena ia disangka bukan pemeluk agama mayoritas.
Hal ini membuat Raisa menangis setiap hari dan Silvi patah hati. Keduanya merasakan sepi di tengah keramaian. Kampus bagai neraka untuk mereka. Kesepian mereka selama menuntut ilmu terbayar dengan kehadiran dua pria tampan dalam hidup mereka: Raisa bersama Julian, pangeran tampan bermata biru dan Silvi yang bermata biru bersama Calvin Wan, malaikat tampan bermata sipit.
Ilustrasi di atas bukan sekedar ilustrasi. Kira-kira itulah gambaran kejadian yang dialami Young Lady cantik dan seorang teman. Percayalah, bibit stereotip di kalangan anak muda itu sungguhan ada.
Anyway, mungkin kalian berpikir bahwa anak muda, terlebih mahasiswa, adalah golongan agent of change yang open minded. Nyatanya, tidak semua begitu. Ada pula golongan anak muda yang rasis dan berpikiran sempit. Pikiran mereka sempit akibat terbutakan fanatisme.
Young Lady ingin sedikit menyentil kalian semua. Iman seseorang tidak bisa diukur dari tipikal wajahnya. Agama seseorang tidak bisa ditentukan hanya dari etnisnya. Tuhan bukan Maha Mengkotak-Kotakkan. Ia Maha Cinta, cintaNya tidak membedakan orang berdasarkan paras wajah.
Lagi pula, Young Lady heran dengan frasa "Muka Katolik" yang dicetuskan anak-anak muda itu. Apa indikator mengukur agama yang dipeluk seseorang dengan tipikal wajah? Apakah bila bertampang kebule-bulean pasti Katolik? Apakah yang bertampang kearab-araban pasti Muslim? Apakah yang berwajah oriental pastilah Buddha atau Konghucu? Tak sesederhana itu, mylove.
Kompasianer, ayo kita buka-bukaan saja. Beberapa kali Young Lady mendapat ucapan selamat hari raya agama lain. Ada juga seorang akademisi yang menyangka Young Lady memeluk agama lain hanya dengan sekali ngobrol. Mudah sekali orang menarik kesimpulan terkait agama yang dipeluk hanya dari tampilan fisik. Sebuah pemikiran yang dangkal.
Jangan cepat mengambil kesimpulan dari satu aspek. Jangan cepat melekatkan stereotip pada orang lain hanya karena tipikal wajah, nama, atau penampilan luar. Berhenti menampakkan stereotip, apa pun alasannya.