Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Ada Malaikat Baru untuk Cattleya, "A Flash Fiction"

14 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 14 Agustus 2019   06:08 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kain beludru pelapis piano terbuka. Piano berdenting lembut. Calvin memainkan lagu bertempo cepat itu dengan hati-hati, takut ada chord yang keliru.


But don't forget who's takin' you home

And in whose arms you're gonna be

So darlin' save the last dance for me (Michael Bubble-Save The Last Dance For Me).

Berhasil, batinnya excited. Tidak ada yang keliru. Sekali coba saja, Calvin bisa.

Tombol send ditekan. Video telah terkirim. Inilah yang disukainya: belajar lagu favorit orang-orang terkasihnya, lalu ia nyanyikan untuk mereka. Pria berjas hitam dan berkacamata Oakley itu tak sabar menunggu reaksi istrinya.

Lima menit berselang, terdengar bunyi langkah kaki menuruni tangga. Lantai parket memantulkan suara langkah sepatu. Alea melangkah anggun, satu tangannya bertumpu di pagar tangga.

"Pagi," sapa Calvin hangat.

Alea hanya tersenyum. Wajahnya merona saat Calvin memeluk pinggangnya.

"Siapa yang cover lagu Michael Bubble? Itu kan lagu kesukaanku," tanyanya.

"Aku." jawab Calvin.

Keduanya saling tatap. Detik itu, hati Alea bagai tertmpar. Berhari-hari dia meninggalkan Calvin untuk urusan pekerjaan. Bahkan ia sengaja pergi ke Singapura di hari raya semata demi kesibukan. Bukannya marah, Calvin malah menghadiahinya sebuah lagu.

"Calvin, I'm so sorry..." lirih Alea.

"No problem. Jangan diulang lagi."

Frekuensi hati mereka naik dan terus naik. Dengan cepat, Alea memahami bahasa cinta suaminya. Calvin menegur Alea dengan lembut. Katakanlah lagu itu sebagai peringatan. Peringatan agar Alea tidak melupakan siapa yang paling utama.

Jari kelingking Alea mendarat manis di sisi kelingking Calvin. Berjanji tanpa kata untuk tidak mengulangi kebiasaan workaholicnya. Ditatapnya sepasang mata sipit itu lekat-lekat. Diyakinkannya Calvin bahwa ia keluar rumah bukan untuk mencari malaikat baru, tetapi untuk menolong ratusan perempuan yang terdiskriminasi.

"Time to go." Alea gelisah, melirik arlojinya.

"Haruskah sepagi ini?"

Alea mengangguk. Waktunya makin menipis. Perempuan-perempuan korban kekerasan seksual itu pasti telah menunggunya.

"Ingat pesanku, Alea."

"Iya."

Sejurus kemudian, Alea memberi kecupan kilat di pipi Calvin. Ia bergegas pergi.

Sekali lagi, Calvin ditinggal sendiri. Namun ia melapangkan resah dalam jiwa. Sebab Calvin percaya, Alea hanya menyimpan seluruh cinta untuknya. Cattleyanya akan segera kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun