Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekolah dan Orangtua Mencetak Anak Menjadi Pekerja Kantoran

4 Agustus 2019   06:00 Diperbarui: 4 Agustus 2019   06:03 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan cantik ini berangkat dari kegelisahan Young Lady. Ceritanya, Young Lady cantik ingin membunuh keresahan dengan menulis. Sebelumnya, kita simak video ini dulu yuk. Check this out.


Menurut Young Lady, pria di dalam video ini cool. Beberapa pemikirannya sejalan dengan apa yang akan dituliskan Young Lady.

Siapa sih yang nggak kenal Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo? Mantan pesulap itu kini menjadi presenter ternama. Ia juga sering memberikan motivasi lewat channel Youtubenya.

Video di atas memaparkan tentang dampak negatif dari sekolah. Menurut ayah satu anak tersebut, sekolah membuat muridnya jadi miskin. Mengapa begitu? Sebab murid-muridnya dipaksa menjadi sama, dicetak menjadi produk yang sama, yakni agar kelak mereka bisa menjadi pekerja kantoran.

Ternyata bukan hanya sekolah yang disinggungnya. Secara implisit, Papanya Azka ini menyentil orang tua. Orang tua yang suka meniupkan sugesti kemiskinan pada anak lewat kata-kata. 

Misalnya, ketika anak meminta sesuatu. Kebanyakan orang tua langsung mengomel sambil mengatakan tak punya uang dan tak usah minta macam-macam. Ucapan semacam itu menanamkan sugesti miskin dalam kepala anak.

Lebih lanjut, Deddy mengatakan bahwa guru takkan optimal mengajar muridnya bila hanya mendapat gaji kecil. Contoh kasusnya, guru honorer yang hanya digaji 300K, atau guru-guru dengan gaji di bawah UMR. Bagaimana mereka bisa memberikan ilmu dan melakukan yang terbaik jika gajinya kecil?

Well, apa yang dikatakannya logis juga. Sekolah tidak pernah mengajarkan kita untuk kaya. Sekolah tak mengajarkan praktik secara langsung. Lembaga pendidikan satu ini hanya mengajarkan intisari ilmu, mengutamakan teori, menyamakan murid secara paksa, dan mencetak mereka agar kelak bekerja di kantor.

Orang tua pun rata-rata seperti itu. Hanya sedikit orang tua yang open minded dan memberikan keleluasaan pada anaknya untuk menjadi hebat di bidang yang mereka suka. Banyak orang tua menanamkan pikiran ke kepala anak bahwa mereka harus bekerja di kantor saat telah lulus sekolah.

Tidak percaya? Ayo Kompasianer yang sudah berstatus orang tua, mengaku sama Young Lady cantik. Seringkah kalian mempengaruhi anak untuk menjadi ini-itu setelah mereka lulus sekolah? Seringkah kalian berharap agar anak menjadi pekerja kantoran selepas sekolah nanti? 

Dalam pikiran orang tua, pekerja kantoran adalah profesi teraman secara finansial. Indikator keamanan finansial dilihat dari gaji tetap yang diterima per bulan.

Tapi...

Benarkah semua anak suka bekerja di kantor? Benarkah pekerja kantoran membuat hidup aman sekaligus sukses?

Honestly, hal yang sangat ditakutkan Young Lady adalah bekerja di kantor. Bekerja kantoran identik dengan durasi delapan jam yang melelahkan, kerja di belakang meja, kejenuhan tingkat akut, birokrasi yang kaku, instansi anti kritik, politik saling sikut, orang-orang dewasa berhati hitam, dan sikap feodal atasan. 

Young Lady pernah merasakan itu semua beberapa kali waktu di radio dan di kampus. Kantor tempatnya orang dewasa saling menjatuhkan demi kepentingan mereka sendiri. 

Kantor tempat yang rawan perselingkuhan dan minim ketulusan. Di kantor, benih-benih kedengkian tumbuh subur. Bekerja kantoran tak banyak memberikan manfaat/perubahan secara langsung untuk kehidupan manusia. Rasanya, sungguh tidak enak.

Lama berpikir dan merasakan sendiri, akhirnya Young Lady memutuskan menghindari kerja kantoran. Young Lady cantik ingin mengajar, berbisnis, modeling, dan menulis saja. Makanya Young Lady berencana langsung lanjut S2 agar bisa mengajar. Semoga lancar.

Mengajar tentu berbeda dengan kerja di kantor. Saat mengajar, kita berhadapan dengan generasi muda, dari tingkat kindergarten sampai mahasiswa. Kita lebih banyak berbicara alih-alih menulis laporan di komputer. Kita bisa mempengaruhi generasi muda, alih-alih dipengaruhi atasan. 

Durasi kerja pun tak seketat bekerja di belakang meja. So, bisa cari sampingan yang lain. Bila di kantor kita dipaksa mematuhi atasan, sebaliknya bila mengajar kitalah yang akan didengarkan dan dikagumi murid.

One more. Young Lady cantik takut bekerja di kantor. Sayangnya, sekolah dan orang tua di negara kita rata-rata berusaha keras mencetak anak agar menjadi pekerja kantoran. Selepas lulus sekolah, anak dipaksa bangun pagi-pagi, berangkat ke kantor pukul tujuh, tiba di kantor jam sembilan, pulang jam lima, dan bergelut dengan kemacetan sampai dua jam. Semua kerumitan itu berlangsung lima hari dalam seminggu. 

Ketatnya durasi membuat para pelakunya terhambat melakukan hobi atau mengambil side job. Seperti itukah suasana kerja yang ideal dan nyaman? Kok buat Young Lady rasanya menakutkan ya?

Penjelasan Deddy Corbuzier mengingatkan Young Lady pada buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki. Berapa banyak orang tua yang berkeras mencetak anaknya jadi pekerja kantoran? Berapa banyak orang tua yang ngebet biar anaknya jadi PNS? 

Berulang-ulang mereka menanamkan konvensi versi mereka bahwa menjadi PNS memberikan keamanan finansial, keamanan posisi kerja karena sulit dipecat, bla bla bla. Namun, apakah bekerja kantoran membuat kita ukses? 

Apakah bekerja kantoran membuat kita kreatif, mengasah empati, membuka cara pandang, dan menambah peluang baru? Ya, mungkin bisa sukses jika kita dilirik bos dan naik karier sampai jadi direktur. Tapi, kalau biasa-biasa saja?

Sayangnya, lebih banyak orang biasa di dunia. Seperti juga lebih banyak orang tua yang bersikeras anaknya bekerja di kantor. Jarang sekali kan, ada orang tua yang berkata begini pada anaknya.

"Sayang, kalau sudah lulus sekolah nanti, kamu jadi novelis/influencer/vlogger/youtuber/blogger/model/food fotografer/hair stylist/entrepreneur/owner startup sekelas unicorn ya?"

Jarang, saaaangat jarang. Bagi orang tua, indikator kesuksesan seorang anak adalah dengan bekerja di kantor. Pekerjaan-pekerjaan di ranah kreatif belum menyentuh nalar mereka. Biasanya orang tua bakalan bilang gini ke anak.

"Nanti, lulus sekolah pokoknya kamu langsung ikut seleksi CPNS. Lamar pekerjaan juga di perusahaan A, B, C. Trus kalau kamu udah jadi karyawan tetap, baru kamu bisa nikah, punya anak, dan berkeluarga."

Nah, seperti itukah indikator kesuksesan? Sedikit sekali yang menyadari bahwa sekolah, kantor, dan orang tua menghalangi seseorang untuk sukses. Bagaimana tidak? Banyak orang stay di kantor puluhan tahun dengan gaji yang itu-itu saja, kan? Itu karena mereka tidak berani berpikir kreatif dan terpaku pada birokrasi yang kaku. 

Sekolah, kantor, dan orang tua tidak mengajarkan anak untuk menjadi kreatif dan kaya. Mereka hanya membentuk anak agar menjadi apa yang mereka inginkan. Padahal belum tentu semua anak suka dengan pola mereka.

Mindset yang salah di negara kita adalah standar kesuksesan yang baku. Sukses identik dengan kerja di kantor, menikah di usia yang tepat, dan punya anak. Balik lagi, padahal tidak semua orang suka bekerja di belakang meja, mendapatkan jodoh di usia 20-30an, dan tidak semua orang dititipi anak oleh Tuhan. Betapa menyedihkannya bila mindset seperti itu masih dipertahankan.

Untuk ketiga kalinya, Young Lady katakan: Young Lady cantik takut bekerja di kantor. So, bagi Kompasianer yang sudah memiliki anak, jangan paksa mereka bekerja di kantor. 

Jangan paksakan mereka menjadi apa yang diinginkan orang tua. Dan bagi Kompasianer yang menjadi pengajar, jangan paksakan murid kalian agar mengikuti standar baku untuk menjadi pekerja kantoran selepas lulus. Berhenti membentuk murid untuk menjadi biasa-biasa saja.

Kompasianer, kalian pilih mana? Menempuh jalan hidup berupa karier yang biasa-biasa saja atau bekerja dengan pikiran kreatif?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun