*Jose*
Orang pertama yang kulihat saat membuka mata. Orang terakhir yang membersamaiku sebelum tidur. Itulah Ayahku, Ayah Calvin Wan.
Tiap pagi, Ayah Calvin membangunkanku dengan kecupan hangat. Ayah mengecup keningku, membelai rambutku, sambil menyapa dengan senyuman.
"Selamat pagi, Sayang."
Tangan Ayahlah yang selalu mengoleskan selai ke roti panggangku, membetulkan lipatan bajuku, dan mengobati lukaku. Aku mudah terluka seperti Ayah. Bila aku terluka dan darahnya tak juga berhenti, aku bisa melihat kecemasan terpancar di mata Ayah Calvin.
Suatu sore berhujan, Ayah Calvin melarangku bermain di luar rumah. Sebagai gantinya kami bermain di ruang piano. Tiba-tiba kulihat darah segar mengalir dari hidung Ayah. Ayah Calvin meninggalkanku sebentar. Rasa penasaran membuatku mengikutinya. Ternyata Ayah Calvin muntah darah. Hatiku berantakan. Rasanya ingin menangis, tapi aku anak laki-laki. Dengan lembut, Ayah Calvin menenangkanku. Diyakinkannya aku kalau ia baik-baik saja.
Kematian tiga sahabatku mengubah keadaan. Aku sangat, sangat kesepian. Belakangan ini aku jadi suka menggigit-gigit jari, melukai tanganku, memukulkan martil ke kakiku, menyayat lenganku, dan menusuk pergelangan tangan dengan jarum. Ayah Calvin sedih melihatku melukai diri. Ayah selalu ada di saat-saat terkelam hidupku. Sering kali dia merelakan dirinya kulukai. Asalkan bukan diriku yang terluka.
Sekali-dua kali kulihat kelelahan di mata Ayahku. Meski begitu, Ayah tetap lembut dan penuh kehangatan. Ayah mengantarkanku ke sekolah, menjemputku pulang, main basket bersamaku, menonton film kesukaan kami berdua, membawaku liburan ke luar negeri, menemaniku sampai tertidur, membacakan buku, membantuku menulis, memasakkan makanan Oriental, dan menyuapiku. Ms. Erika menyebutku bodoh dan malas, tapi Ayah Calvin berkeras kalau aku hanya punya kemampuan berbeda. Aku lebih suka diajari Ayah dibandingkan guru-guruku.
Masa ujian tiba. Kupikir aku tidak akan lulus. Hasilnya, aku malah jadi lulusan terbaik. Ayah Calvin begitu bangga padaku. Dia memelukku erat sekali.
Ayah, aku ingin tetap begini. Aku ingin selamanya bersama Ayah. Hanya Ayah yang memahamiku. Seluruh waktu Ayah habis untukku. Aku tahu, Ayah jarang sekali ke kantor dan mengurus yayasan. Itu semua karena Ayah ingin mendampingiku. Ayah, dengan kekayaanmu, Ayah ajarkan aku untuk berbagi dan peduli pada sesama. Ayah selalu menemaniku, dari pagi hingga pagi lagi. Terima kasih untuk waktumu, Ayah. Jose cinta Ayah Calvin karena Allah.
*Andrio*
Kau dan aku tak bisa bersama
Bagai syair lagu tak berirama
Selamat tinggal kenangan denganmu
Senyumku melepaskan kau pergi
Engkau bukanlah sebuah kesalahan
Tak pernah aku menyesal mengenalmu
Tapi biarkanlah aku terbang bebas
Mencari cinta sejati (Cakra Khan-Mencari Cinta Sejati).
Terlahir setengah-setengah membuatku tersiksa. Dari kaki sampai dada, aku seperti anak Sunda. Dari dada sampai ke rambut, aku layaknya anak bule. Mommy hanya bisa Bahasa Inggris. Daddy? Tak tahu dimana.
Sebaliknya, aku kenal sosok ayah yang saaangat baik. Dia ketua yayasan di sekolahku, seorang guru musik yang sangat sabar. Namanya Ayah Calvin. Ayahnya sahabatku.
Tibalah saat pemilihan ketua kelas. Aku jadi salah satu calonnya. Tak pernah kuharapkan itu. Diterima sebagai siswa sekolah favorit ini pun sudah bersyukur. Tak mudah bagi anak penderita kanker darah sepertiku untuk bersekolah di tempat formal.
Akhirnya aku terpilih. Sungguh tak kusangka. Mengapa harus aku? Lambat laun aku tahu kalau Joselah yang mempengaruhi teman-teman sekelas untuk memilihku. Hmmmm, Jose. Sahabatku itu terlalu baik. Padahal ia sendiri dicalonkan juga.
Dewan guru sempat ragu. Namun Ayah Calvin meyakinkan mereka. Ya, Ayah Calvin mempercayaiku! Ia percaya, anak spesial mampu diberi amanah sebagai pemimpin. Tak pernah Ayah Calvin menyebut 'cacat' atau 'difabel' pada anak-anak sepertiku. Aku disebutnya anak spesial.
Hari-hari berlalu. Kujalankan tugasku sebaik mungkin. Tubuhku serasa makin lemah saja. Beberapa kali aku terbangun di pagi hari dalam keadaan lemas dan lumpuh. Kupaksakan tetap bersekolah dan memimpin kelas.
Ayah Calvin sangat kagum padaku. Dia menyayangiku tanpa syarat. Alih-alih Mommy, Ayahlah yang menemaniku kemoterapi. Pada seri ketiga kemoterapi, aku sangat kesakitan. Sambil mendekapku, Ayah Calvin berkata.
"Biar sakitnya pindah ke Ayah."
Tidak, aku tak kuat lagi. Aku sadar, Ayah Calvin bukan Ayahku. Bebaskan aku dari sakit ini. Tapi, bila aku bebas, takkan mungkin aku bertemu Ayah sebaik ini lagi.
Waktuku telah habis. Sebelum kanker merenggut nyawaku, punggungku dihantam peluru-peluru tajam. Masjid tempatku shalat ditembaki. Seluruh tubuhku melayang ringan, ringan seperti kapas. Rasa sakit ini, perih ini, lenyap. Aku telah bebas.
Selamat tinggal, Ayah. Selamat tinggal Ayah terbaik dalam hidupku.
*Paulina*
Tiap hari aku merindukan Daddy. Kata Mommy, Daddy takkan pernah bisa tinggal serumah denganku. Aku sedih mendengarnya.
Hanya seminggu sekali aku bertemu Daddy. Sabtu selalu menjadi hari yang paling menyenangkan. Bila hari itu tiba, aku akan bangun lebih pagi. Mandi lebih lama, membalurkan sabun dan lotion banyak-banyak, membedaki wajahku, dan memakai gaun cantik. Kugerakkan kursi roda ajaibku keluar kamar dengan senyuman termanis.
Seharian aku bersama Daddy. Tak lupa Daddy membawakan coklat kesukaanku. Daddy juga memotivasiku agar tetap melanjutkan terapi syaraf. Kata Daddy, kebahagiaan terbesarnya akan terjadi kalau aku bisa berjalan.
Semua yang dilakukan Daddy membesarkan hatiku. Ah, andai saja aku bisa tinggal bersama Daddy...
*Syahrena*
Halo, panggil aku Princess. Eits, kenapa sih aku pengen dipanggil Princess? Iyalah, kan namaku Deatami Princessa Syahrena. Aku Princessnya Ayah.
"Hai Princess. Time to go to school."
"How is your day, Princess?"
"Good night, Princess."
Begitu biasanya Ayah memanggilku. Oh ya, Ayahku keren loh. Jago modeling, pintar bisnis, rajin ngeblog, trus sabaaaaar banget ajarin aku catwalk dan pose. Karena Ayah, aku akhirnya jadi model dan balerina. Aku semangat banget latihan balet.
Tiap Senin-Jumat sore, aku nggak pernah absen nonton talk show yang dipandu Ayah. Suara Ayah bagus. Ayahku gantengnya maksimal. Kata Bunda, Ayahku itu peragawan, blogger, dan pengusaha multitalenta. Jadi presenter ok, jadi aktor film dan sinetron pernah, dapat penghargaan pengusaha inspiratif, pernah. Wah pokoknya aku bangga sama Ayah.
Tapi...
Aku sedih pas Ayah bilang gini. "Princess mau nggak punya Ayah baru?"
Kenapa? Kenapa Ayah bilang gituuuu? Ayah Syahrena cuma satu. Mendingan om-om dagu lancip yang namanya Om Revan itu pergi aja deh dari rumah. Syahrena cuma mau sama Ayah.
*Angelica*
Katanya sih, Papa kandungku itu Om-om ganteng yang suka main biola. Ah, nggak percaya. Kan tiap hari aku tinggal sama Papa yang lebih ganteng. Papaku tinggi, pakai kacamata, dan sukanya pakai jas mahal.
Papa-Vin ituuuuu....luar biasa. Gimana nggak? Papa-Vin yang kuncirin rambut aku. Papa juga yang ajarin aku table manner. Kalau kuku-kukuku udah panjang, Papa-Vin yang memotongnya biar pendek lagi.
"Papa-Vin akan jadi tangan buat Angel."
Ah, beruntungnya aku punya Papa-Vin. Tangan kananku nggak bisa gerak. Jari-jariku ada empat. Tapi, Papa-Vin sayaaaaaang banget sama aku.
Papa-Vin pilihkan sekolah terbaik buat aku. Di sana aku belajar sama teman-temanku yang lengkap anggota tubuhnya. Aku senang belajar sama mereka. Temanku jadi lebih banyak. Papa-Vin ajarin aku untuk percaya diri dan bersikap baik sama siapa aja.
Aku sayang Papa. Aku nggak mau pisah sama Papa. Buat Angel, Papa itu yang terbaik. Sekalipun Angel bukan anak kandung Papa.
** Â Â
Kompasianer, siapakah tokoh anak favorit kalian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H