Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Lihatlah Lebih Dekat

22 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 22 Juli 2019   06:49 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai jawaban, Ayah Calvin mengenakan jas yang terdekat dari jangkauan tangannya. Bunda Alea cemas sekali memandangi gerakan tubuh yang melemah, helaan nafas yang memberat, dan rona wajah yang pucat.

"Tak perlu menatapku seperti itu, Alea."

Ayah Calvin terbatuk. Darah segar mengalir. Bunda Alea lembut menyekanya.

"Stonehead," kecamnya pelan, suaranya bergetar.

Lima menit berikutnya, Bunda Alea terbaring sendirian di kamar utama. Tak berdaya mencegah suaminya pergi. Dia hanya mampu mendaraskan doa. Allah akan menjaga belahan jiwanya.

Kerinduan pada anak semata wayang menguatkan Ayah Calvin. Langkahnya terasa ringan menyusuri kompleks perumahan elite. Sunyi menebar di sudut-sudut kompleks. Rindu yang menggelayuti hatinya tak lama lagi akan pecah.

Tak terasa, kakinya membawanya keluar area kompleks. Siluet tiga rumah ibadah berpelukan mesra dilatarbelakangi langit pagi. Masjid hijau dengan menaranya yang gagah, merangkul erat vihara bergaya oriental, dan mendekap gereja bercat biru laut dengan lonceng besarnya. Tiga rumah Tuhan itu berpelukan erat tanpa terbatas sekat. Ayah Calvin memandang sedih ke arah gereja.

Rumah Paman Revan tak jauh lagi. Letaknya persis di belakang vihara. Walaupun posisinya agak ke dalam, rumah itu tak kehilangan kemewahannya. Semangat Ayah Calvin bangkit mengalahkan rasa sakitnya. Tinggal sedikit lagi.

Di kanan-kiri tiga tempat ibadah, terlihat para pedagang makanan menggelar jualannya. Beberapa pemulung, pengamen, dan anak jalanan beristirahat di bawah tenda-tenda pedagang. Peduli amat dengan aparat ketertiban, peduli amat dengan fakta pemandangan tidak indah. Hidup sudah terlalu keras.

Seorang anak lelaki berkaus hitam dan berambut berantakan menurunkan tampah berisi kue dari kepalanya. Anak itu berjualan di dekat bahu jalan. Tanpa lapak, tanpa tenda, tanpa pelindung. Perjuangannya jauh lebih keras dibanding para pedagang tadi. Jika Rupiah demi Rupiah berhasil memenuhi sakunya, anak itulah pemenang sejati.

Terbersit sesal di hati Ayah Calvin. Tak terpikir olehnya untuk membawa kamera. Andai saja benda hitam itu ada di sakunya, dia bisa mengambil potret-potret jujur bertema human interest. Layak dijadikan bahan tulisan. Mungkin semacam feature. Naluri blogger tidak kompatibel dengan kondisi tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun