Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Di mana Kami Akan Beribadah?

18 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 18 Juli 2019   07:12 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di mana Kami Akan Beribadah?

Jose anak yang kuat. Ayah Calvin bangga padanya. Kesedihannya karena harus kemoterapi tak berlangsung lama.

Semangat hidup yang tinggi, ditambah doa tulus Ayah Calvin dan Bunda Alea, membuat Jose cepat pulih. Dia dibolehkan keluar dari rumah sakit setelah menjalani perawatan selama lima hari. Dokter Tian berbaik hati. Ia luluskan permintaan Jose untuk pulang tepat ketika pemuda cilik itu sudah bosan berbaring terus.

Kamis sore, Jose meninggalkan rumah sakit. Hatinya disusupi rasa kecewa. Kalau saja pengantar bunga misterius itu datang di Hari Kamis, pasti dia masih bisa bertemu. Sayangnya, ekspektasi tak sesuai dengan realita.

Bunda Alea menangkap kecewa di mata Jose. Dihiburnya anak satu-satunya itu. Walau ia tak tahu pasti alasan di balik setitik kecewa.

"Jose kuat...Bunda sama Ayah bangga sama kamu. Kamu mau hadiah apa?" Bunda Alea menanyainya saat mereka melewati pelataran rumah sakit.

"Hadiah? Aku kan nggak ulang tahun...nggak dapat nilai bagus juga." ulang Jose bingung.

Ayah Calvin mengulas senyuman lembut. "Hadiah kan nggak harus diberikan pas ulang tahun atau berprestasi. Ketegaran Jose lebih berharga dibanding angka-angka di atas kertas."

Keraguan Jose buyar. Dia pun menyebutkan sesuatu yang sangat diinginkannya akhir-akhir ini: nonton film bersama Ayah-Bundanya. Ya, hanya itu. Jose hanya ingin quality time dengan nonton film bersama. Sederhana, tetapi berkesan.

Permintaan Jose di luar prediksi. Semula, Ayah Calvin dan Bunda Alea mengira anak mereka akan meminta gadget keluaran terbaru, kamera dengan kecanggihan paling mutakhir, makan di resto mewah, atau jalan-jalan ke luar negeri. Ternyata permintaan Jose simple saja.

Mereka pun menonton film bersama. Film pilihannya pun sangat inspiratif: Keluarga Cemara. Sebuah film yang diangkat dari sinetron legend pada zamannya. Film itu cocok dengan harapan Jose. Harapan untuk melewati waktu bersama keluarga.

Sepanjang film berlangsung, mereka dibuat terkesan dengan jalan ceritnya. Mereka gemas menyaksikan akting Widuri Puteri Sasono yang memerankan Ara dengan begitu natural. Di akhir film, sebentuk tanya melintas di hati Ayah Calvin.

"Alea, boleh aku tanya sesuatu?"

"Tanyakan saja. Ada apa?"

"Kalau keluarga kita jatuh...seperti di film itu, apa kamu akan tetap di sampingku?"

"Hmmmm..." desah Bunda Alea, memandang lurus mata suaminya.

"Jadi, kau berharap keluarga kita bangkrut?"

Sesaat Ayah Calvin yakin bila istrinya marah ditanyai begitu. Hati-hati ia meluruskan.

"Bukan, bukan begitu. Namanya hidup, kita tidak tahu. Roda tak selalu berputar ke atas."

Sama seperti minggu kemarin, Bunda Alea menjawabnya dengan lagu. Kali ini sambil bermain piano.

Harta yang berharga

Adalah keluarga

Istana yang paling indah

Adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna

Adalah keluarga

Mutiara tiada tara

Adalah keluarga

Selamat pagi, Emak

Selamat pagi, Abah

Mentari hari ini

Berseri indah

Terima kasih, Emak

Terima kasih, Abah

Untuk tampil perkasa

Bagi kami putra-putri

Yang siap berbakti

Puisi yang paling bermakna

Adalah keluarga

Mutiara tiada tara

Adalah keluarga

sayang

(Selamat pagi, Abah) sayang

Mentari hari ini

Berseri indah

Terima kasih, Emak

Terima kasih, Abah

Untuk tampil perkasa

Bagi kami putra-putri

Yang siap berbakti (Bunga Citra Lestari-Harta Berharga).

Bibir Bunda Alea melengkung membentuk senyuman manis. Lengannya melingkar erat di leher Ayah Calvin. Diciuminya kening, pipi, dan mata pria berjas dark blue itu.

"Hartaku yang paling berharga adalah kamu dan Jose. Tak seorang pun akan meninggalkan harta berharganya, sekalipun harta itu jatuh ke dalam lumpur. Mutiara tetap mutiara, meski terbenam dalam genangan lumpur hitam." ucap Bunda Alea filosofis.

Ayah Calvin membalas ciuman istrinya. Kedua pipi Bunda Alea merona. Rona merah membuat parasnya yang ranum semakin indah.

**   

Sehari setelah kepulangan Jose, Steven datang ke rumah. Hari itu hari libur. Jadilah weekend yang panjang untuk anak sekolah dan pekerja kantoran, karena libur dimulai dari Hari Jumat.

Steven dan Jose berangkulan. Dua sahabat itu berhari-hari tak bertemu. Jose penasaran kenapa Steven tak datang ke pernikahan Ayah-Bundanya.

"Maaf..." Steven tertunduk lesu.

"Aku nggak punya baju."

Sontak Jose menepuk dahinya. "Kenapa nggak bilang? Kamu kan bisa pinjam punyaku."

"Nggak ah. Kata ibuku, jangan kebiasaan pinjam-pinjam barang orang."

Jalan pikiran yang aneh. Masa pinjam barang tidak boleh? Tetapi Jose tak mendebat.

Mereka bermain di balkon. Jose menunjukkan koleksi mainan terbarunya. Steven bermain dengan resah. Belum pernah ia menyentuh mainan-mainan mahal itu. Ada perasaan khawatir membuat mereka rusak.

Steven datang ke rumah Jose membawa bercak kegelisahan lama. Dia kembali menceritakan tentang penutupan gereja. Pebisnis kuliner itu teguh pada pilihannya. Gereja harus ditutup. Sebentar lagi, kedai es krim akan dibangun.

"Dimana kami akan beribadah? Gereja itu satu-satunya harapan kami." Steven mengakhiri ceritanya, pahit.

"Aku heran. Kenapa hanya gereja yang ditutup? Kalau mau adil, masjid dan vihara harusnya kena juga." kata Jose tak mengerti.

Steven mengangkat bahu. Putra altar itu berubah sendu. Hatinya membiru.

"Maaf ya...kemarin-kemarin aku lupa. Kita coba cari jalannya." lanjut Jose menyesal.

"Nggak apa-apa kok. Kamu kan lagi sakit."

Jose menggigit bibirnya. Ia sebal dengan kata 'sakit'. Haruskah sakit menjadi pembenaran untuk bersikap seenaknya dan mengabaikan orang lain?

Selepas kepulangan Steven, Jose mengingatkan Ayahnya tentang penutupan gereja. Ayah Calvin enggan menanggapi. Reaksi sang ayah membuat Jose kecewa.

"Mana Ayah Calvin yang baik hati? Ayah kan malaikatnya Jose..." protesnya.

Ayah Calvin menghela nafas berat. Kesedihan membayangi wajahnya. Ditariknya tubuh Jose ke dalam rengkuhan. Pelan-pelan dicobanya membuat Jose mengerti.

"Sayang, bukannya Ayah nggak mau bantu Steven. Ayah punya trauma soal itu." jelasnya lembut, lembut sekali.

"Trauma apa?"

"Dulu...dulu sekali sebelum Jose lahir, Ayah pernah mengurus izin mendirikan vihara. Prosesnya sangat sulit. Ayah menghadapi banyak penolakan. Mereka takut vihara itu merusak keyakinan orang-orang non-Buddha yang tinggal di sekitarnya. Mau mendirikan vihara saja dipersulit dimana-mana. Perjuangan Ayah ditentang banyak orang. Puncaknya...mereka melukai Ayah."

Suara Ayah Calvin begitu lembut. Lembut dan sedih. Hati Jose teriris mendengarnya.

"Ya sekarang Ayah buktiin dong kalo Ayah bisa bantu minoritas. Luka masa lalu bisa jadi kekuatan kita." saran Jose.

Benarkah luka masa lalu dapat menguatkan? Kelirukah dirinya selama ini? 21 tahun Ayah Calvin memendam luka. Menyimpannya di kotak ingatan terdalam.

"Masa malaikat trauma terus?" Jose terus mendesaknya.

Ayah Calvin tertunduk sedih. "Ayah bukan malaikat, Sayang."

Dan Jose pun kecewa. Ia tetap yakin. Luka masa lalu dapat meneguhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun