Steven dan Jose berangkulan. Dua sahabat itu berhari-hari tak bertemu. Jose penasaran kenapa Steven tak datang ke pernikahan Ayah-Bundanya.
"Maaf..." Steven tertunduk lesu.
"Aku nggak punya baju."
Sontak Jose menepuk dahinya. "Kenapa nggak bilang? Kamu kan bisa pinjam punyaku."
"Nggak ah. Kata ibuku, jangan kebiasaan pinjam-pinjam barang orang."
Jalan pikiran yang aneh. Masa pinjam barang tidak boleh? Tetapi Jose tak mendebat.
Mereka bermain di balkon. Jose menunjukkan koleksi mainan terbarunya. Steven bermain dengan resah. Belum pernah ia menyentuh mainan-mainan mahal itu. Ada perasaan khawatir membuat mereka rusak.
Steven datang ke rumah Jose membawa bercak kegelisahan lama. Dia kembali menceritakan tentang penutupan gereja. Pebisnis kuliner itu teguh pada pilihannya. Gereja harus ditutup. Sebentar lagi, kedai es krim akan dibangun.
"Dimana kami akan beribadah? Gereja itu satu-satunya harapan kami." Steven mengakhiri ceritanya, pahit.
"Aku heran. Kenapa hanya gereja yang ditutup? Kalau mau adil, masjid dan vihara harusnya kena juga." kata Jose tak mengerti.
Steven mengangkat bahu. Putra altar itu berubah sendu. Hatinya membiru.