Tiga Hati Berdarah
Satu, dua, tiga, empat kali jam berdentang. Dentang jam besar itu membangunkan Bunda Alea. Pagi yang masih terlalu muda, melahirkannya kembali.
Sesaat Bunda Alea tertegun. Mengapa ia ada di pelukan seseorang? Mengapa ranjang besar itu terisi tubuh lain? Oh tidak, ia lupa. Mulai sekarang, tidurnya tak lagi berteman sepi.
Hati Bunda Alea dirayapi desir halus. Semalaman Ayah Calvin memeluknya. Mendekapnya begitu hangat. Pelukan tanpa tendensi cinta seksual. Percayalah, masih ada bentuk cinta tanpa hasrat seks.
Ditatapnya wajah pendamping hidupnya lekat-lekat. Saat tertidur pun, Ayah Calvin tetap tampan. Wangi Blue Seduction yang sangat khas dari tubuhnya membelai hidung Bunda Alea. Tangan kanan Ayah Calvin melingkari leher Bunda Alea, menyiratkan perlindungan berbalut cinta platonis.
Cinta platonis? Ya, jenis cinta itu masih ada. Telah terpatri sebongkah janji. Ayah Calvin takkan menyentuh Bunda Alea. Soal hasrat meneruskan keturunan, sudah bukan masanya lagi. Bagi mereka, ikatan suci bukan untuk melegalkan seks.
Pelan Bunda Alea membisikkan terima kasih. Terima kasih pada mendiang Bunda Sivia yang telah mempercayakan malaikat tampan bermata sipit untuknya. Sepersekian menit dalam renungan, Bunda Alea tersadar. Jam empat pagi, bukankah waktu minum obat untuk suaminya?
Ia mencari cara. Ayah Calvin tak pernah memasang alarm, tak mudah juga dibangunkan. Membiarkan tubuhnya terlelap sesuai alarm biologis, begitulah pilihannya. Ok fine, harus memakai cara halus.
Lembut dan hati-hati, Bunda Alea melepas pelukan. Turun dari ranjang, balik kanan ke walking closet. Tangannya berkutat memilih-milih baju. Setelah menemukan baju yang dipilihnya, ia bergegas mandi. Membaluri kamar mandi, balkon, dan zona istirahat di kamar utama itu dengan wangi citrus yang menyegarkan.
Tak lama, Bunda Alea kembali ke tepi ranjang. Ia mencium kening Ayah Calvin. Menyisakan rambut yang masih basah dan tubuh segar. Wangi citrusnya berpadu dengan wangi Blue Seduction.