"Selamat pagi, Sivia Sayang." bisiknya.
"Sivia nggak mau ditinggal-tinggal. Ayah Calvin di sini aja..." rajuk Sivia manja.
Bergulirnya sang waktu tak dapat ditawar. Pelan-pelan Calvin menuntun Sivia bangun. Mengajaknya keluar kamar. Menggandengnya ke lantai bawah.
Di kaki tangga, mereka berpapasan dengan dua asisten rumah tangga. Kedua pekerja loyal itu sibuk bebersih dan meluruskan lukisan-lukisan. Mereka menawarkan diri untuk menjaga Sivia, tetapi ditolak halus oleh Calvin. Mana pernah ia percaya lagi? Cukup sekali saja Sivia diberi obat tidur dan dipukuli mantan susternya.
Calvin membawa Sivia ke dapur besar di lantai bawah. Didudukkannya Sivia di kursi kayu berukir. Pintu kulkas membuka. Hawa dingin berembus dari dalamnya. Bahan-bahan makanan masih lengkap. Bagus, ia tak perlu mengecewakan Sivia. Semalam Sivia minta dibuatkan nasi hainam untuk bekalnya. Seperti biasa, ia membawa paling sedikit lima porsi. Seporsi untuk dirinya, empat porsi lagi untuk teman-temannya.
Tangan Calvin bergerak cepat memotong ayam dan merebus kaldu. Sivia memperhatikan Ayahnya dengan kagum. Menipis penglihatannya, menebal cintanya untuk sang ayah.
Para pembantu di mansion megah berlantai tiga itu hanya mencuci pakaian dan mengurus rumah. Soal memasak dan mengurus Sivia, jangan harap Calvin akan mendelegasikannya pada orang lain. Sivia beruntung sekali memiliki Ayahnya.
Voilet, masakannya selesai. Lima porsi nasi hainam dengan kaldu lezat dan bumbu meresap. Masakan slow cook hasil tangan dingin ayah berhati tulus.
Selesai memasak, Calvin memandikan Sivia. Membimbing gadis itu berdoa. Ritual lima kali sehari-semalam itu tak boleh ditinggalkan. Sisa waktu setengah jam mereka habiskan untuk mengecek PR dan peralatan sekolah.
"Sayang...kamu di sini sebentar ya. Ayah mau berdoa dulu." kata Calvin setelah dentang jam yang keenam.
"Tadi kan Ayah udah berdoa sama Sivia! Sivia nggak mau ditinggal, nggak mauuu!" protes gadis itu.