Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

5 Alasan untuk Membenci Lebaran

4 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 4 Juni 2019   06:38 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judulnya pasti kontroversial. I don't care. Kalo nggak kontroversial, bukan Young Lady namanya.

Ya, Young Lady cantik benci hari kemenangan. Salah? Nggak dong. Bukan benci esensinya, tetapi benci praktik seremonialnya di kehidupan nyata.

Lebaran, atau Idul Fitri, atau Ied Mubarak, dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, Lebaran telah menjadi tradisi bangsa. Lebaran milik siapa saja. Berkahnya bisa mengalir dimana pun dan pada siapa pun, tak peduli Muslim atau bukan.

Kalau di Indonesia, Lebaran telah membudaya dalam tradisi bangsa. Seperti halnya Imlek di Tiongkok dan Natal di UK/USA. Tentu tak dapat diingkari sebab Islam merupakan agama yang dipeluk mayoritas warga negara Indonesia. Bila Lebaran tiba, libur tlah tiba kayak lagunya Tasya.

Hari raya Lebaran identik dengan libur panjang, THR, mudik bersama, baju baru, makanan enak, dan kumpul keluarga. Lebaran lekat dengan kegembiraan.

Tapi, apakah semuanya menyenangkan?

Tidak, ternyata tidak. Ada alasan-alasan untuk membenci Lebaran. Ada sisi gelap Lebaran yang jarang disadari. Semua orang terlanjur larut dalam kenikmatan seremoni. Sisi kritis dalam pikiran lenyap ditelan harum ketupat dan opor (bagi yang menyukainya, kalau Young Lady tidak suka).

Waktu kecil, Young Lady bergembira menyambut Lebaran seperti yang lainnya. Tapi semuanya berubah sejak negara api menyerang...#Avatar

Bukan, bukan. Maksudnya, semuanya berubah sejak usia makin mendewasa. Tepatnya sejak 4 tahun lalu. Sejak Lebaran jadi identik dengan rasa sakit, cerita sedih, dan pengalaman traumatis. Seperti yang terjadi 2 tahun lalu.

Baca Diusir dari Rumah Retret

Dan pengalaman-pengalaman tak menyenangkan lainnya saat hari raya.

Buat Young Lady cantik, Lebaran bukan lagi hari yang ditunggu-tunggu. Rasanya ya biasa saja. Hadir dan berlalu, tanpa meninggalkan kesan membahagiakan. Akhir-akhir ini memang susah untuk bahagia.

So far, Young Lady cantik belum menemukan alasan untuk berbahagia lagi saat hari raya. Semuanya masih terlalu menyedihkan dan menghanyutkan dalam sepi. Belum ada seseorang, atau sesuatu yang bisa membuat Lebarannya Young Lady cantik jadi lebih berpelangi. Biarkan, biarkan saja begitu.

Nah, ayo kita check apa saja alasan yang membuat Lebaran layak dibenci.

Pencitraan

Ya, Lebaran bukan hanya hari kemenangan. Tetapi juga hari pencitraan. Tidak percaya? Sekarang coba lihat. Orang-orang kaya, pengusaha, dan pejabat penting membuka pintu istana mereka untuk open house. Mereka baru mau berbaur ketika hari raya tiba. Mereka baru mau menyentuh tangan rakyat jelata kala hari kemenangan di depan mata. Heloooo, apa itu namanya kalau bukan pencitraan?

Kenapa harus menunggu Lebaran untuk berbaur dengan orang biasa? Bukankah hal itu dapat dilakukan di hari-hari biasa? Kayak pak ganteng presiden kita tuh. Bisa ketemu rakyat everytime. Nggak usah nunggu hari raya. Keliatan banget kalau hari raya itu hari pencitraan, guys.

Berbagi salah sasaran

Hayo, ngaku. Kalian lebih senang kasih parsel Lebaran ke pejabat atau ke orang miskin? Pasti ke pejabat, kan? Parsel rasa gratifikasi. Memberi bingkisan/hadiah hari raya sebagai suapan halus agar kelak maksud dan tujuan dilancarkan. Padahal si pejabat, guru, petinggi, dosen, mertua, besan, mantan...ups atau siapa pun penerima suapan itu, jelas-jelas orang mampu. Tanpa kalian hadiahi parsel pun, meja tamunya sudah penuh kue-kue dan minuman lezat. What for? Wasting money.

Salah sasaran. Kenapa parselnya nggak dikasih ke duafa aja? Lebih bermanfaat, kan? Di rumah mereka belum tentu tersaji kue kering dan minuman ringan.

THR Lebaran kalian bagikan ke keponakan-keponakan/anak/cucu kalian yang sudah jelas kaya? Sayang sekali, mylove. Kenapa nggak dibagi ke anak yatim atau ke anak panti asuhan? Belum tentu mereka punya uang saat hari raya.

Buat apa berbagi ke orang kaya? Itulah, maka Lebaran sering kali menjadi ajang berbagi yang salah sasaran.

Mental pengemis/komersial

Masih berkaitan dengan poin kedua. Kalian menyelipkan uang ke tangan anak-anak kecil yang jelas berasal dari keluarga mampu. Anak-anak itu jadi punya motivasi yang salah untuk berhari raya. Kelak mereka akan jadi orang yang bersilaturahmi dengan mindset money oriented. Tak ada uang, tak ada saling bermaafan. Ngeri kan?

Salam tempel di hari raya menumbuhkan mental pengemis. Anak-anak, yang harusnya belajar berbagi, malah meminta-minta. Anak-anak yang mestinya belum boleh dikenalkan dengan uang, jadi materialistis. Memangnya kalian mau punya anak seperti itu? Kalo aku sih, no.....

Pamer

Lebaran tak jauh-jauh dari kata pamer. Believe it or not, banyak orang menjadikan hari berkumpul dengan kerabat sebagai ajang memamerkan kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya. Entah itu real or fake.

Ada yang pamer mobil baru, rumah mewah, makanan lezat, baju mahal, sampai pamer pasangan. Pamer kemesraan di depan orang yang belum tentu mulus hidupnya. Mending kalau yang dipamerin ikut bahagia dan punya pikiran positif. Nah kalau mereka berpikiran negatif terus berdoa jelek gimana?

Susah menemukan orang rendah hati di hari Lebaran. Nafsu untuk pamer begitu besar. Pikirnya, dialah yang paling bahagia di dunia. Dunia serasa milik berdua dengan pasangan, yang lain ngontrak. Parah sekali mindset seperti itu. Celakanya, ajang pamer kemesraan dan pamer kekayaan itu lazim dipertontonkan di hari Lebaran.

Coba bayangkan dan rasakan...cieee kayak lagunya Maudy Ayunda. Bayangkan kalian pamer di hari Lebaran di depan kerabat. Kalian pamer mobil mewah, pamer pasangan, pamer anak-anak yang cute. Lalu di depan kalian, duduk seseorang yang belum punya pekerjaan tetap, belum punya kendaraan, tak punya kisah cinta yang mulus, dan divonis infertilitas. Bagaimana perasaan orang yang duduk di depan kalian itu? Pikirkan saja sendiri.

Budaya pamer di hari Lebaran bisa menjadi mental block bagi orang lain. Orang bisa mindr gegara ulah kalian. So, jangan heeran kalau ada orang yang tak mau berkumpul di hari raya karena minder.

Pertanyaan sensitif

Inilah yang paling menjengkelkan saat kumpul keluarga di hari raya. Siap-siap saja kalian dibombardir rangkaian pertanyaan sensitif yang bodoh luar biasa.

"Sudah punya pasangan belum?"

"Kapan lulus?"

"Kapan kerja?"

"Kapan nikah?"

"Kapan punya anak?"

"Kapan nambah anak lagi?"

"Kapan punya cucu?"

Dan rentetan "kapan-kapan" lainnya. Bagaimana perasaan kalian kalau ditanya-tanya begitu? Dari Lebaran ke Lebaran, selalu saja harus ada tuntutan dari keluarga untuk mencapai siklus hidup sesuai ekspektasi mereka. Padahal nyatanya, hidup semua orang penuh liku.

Lalu ujungnya, mereka akan membandingkan dengan si A, si B, si C yang sudah begini dan begitu. Bukankah itu menyebalkan sekali? Tanpa sadar, keluarga memaksa kita terus melihat ke atas kala Lebaran tiba.

Sebuah pemaksaan yang ironis. Kita, yang maunya rileks dan happy di hari kemenangan, justru ditekan dengan banyaknya pencitraan, pamer, dan pertanyaan sensitif. Capek kan? Lebih baik sekalian saja tidak usah berhari raya.

Lebaran membuat minoritas seperti Young Lady makin tersisih. I hate Ied Mubarak. Lebaran membuat orang yang berbeda, baik dari segi profesi dan love story, jadi makin terpinggirkan. Sebab yang lain cenderung terpaku ke opini kaku yang berlaku umum. Bhawa sukses harus begini dan begitu, kisah ccinta yang mulus harus begini dan begitu.

Kalau seremonialnya terlihat begitu buruk, buat apa menanti-nanti Lebaran?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun