Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lembaga TOEFL Itu Menolakku

11 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 11 Mei 2019   06:07 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Libellule789 (Pixabay)

Well, ini bukan minggu yang menyenangkan buat Young Lady cantik. Awal bulan mulia yang indah, spontan dirusak dengan kejadian diskriminatif. Kejadian apa itu?

Bermula dari my mom yang berkeras memaksakan Young Lady langsung daftar S2. Tuntutannya itu loh...super sekali. Aku bisa apaaaa? Cieee kayak lagunya BCL.

Belum juga sidang S1, baru saja menarik nafas setelah skripsian, langsung disuruh daftar S2. Ambil beasiswa afirmasi. Hmmmm....kok Young Lady berasa jadi boneka akademis ya? Padahal aku kan bukan boneka...kayak lagunya Rini Idol yang dinyanyiin lagi sama Cakka and Shilla Icil.

Tapi mau gimana lagi? Kalau nyonya besar sudah bersabda, Young Lady cantik tak bisa apa-apa. Padahal Young Lady udah capek banget. Pengennya istirahat, refresh pikiran, dan jauh-jauh sebentar dari dunia akademik. Capek tauuuuu.

Nah, salah satu persyaratan seleksi administrasi beasiswa afirmasi LPDP adalah Toefl. Ok, artinya Young Lady harus tes Toefl. Mulailah berburu lembaga penyelenggara tes tersebut.

Hasilnyaaaa? Masya Allah susahnyaaaa. Dua lembaga Toefl menolak Young Lady! Selamat berduka cita.

Dua lembaga penyelenggara Toefl itu tak lain UPT Bahasa ITB dan Balai Bahasa UPI. Alasannya klasik: tak ada fasilitas. Tak ada yang membacakan soal. Apa lagi soal berhuruf lain. Klasik, sangat klasik.

Begitulah Indonesia. Orang-orang seperti Young Lady sering tertolak. Mau sekolah, ditolak. Mau magang, ditolak. Bahkan mungkin nanti, mau married pun ditolak. Ngeri ya.

Tapi itulah kenyataan. Masih banyak orang error di negeri kita. Orang-orang yang tak mengizinkan golongan seperti kami masuk dalam lingkungan mereka. Penolakan itu hanya mengandung satu alasan: tak mau repot.

Parahnya orang Indonesia adalah, tak mau repot. Mereka tak mau direpotkan hal-hal sepele yang bersifat teknis. Mau contoh lagi? Cobalah kalian kirim e-mail ke sejumlah perusahaan. Check berapa admin penjaga e-mail yang membalas. Bila adminnya membalas, berarti mereka mau direpotkan untuk membuka dan membaca e-mail. 

Tapi, coba saja. Sulit menemukan orang Indonesia yang mau direpotkan dengan hal teknis. Tapiiiiii, giliran menggunjingkan skandal orang lain, mereka ributnya setengah mati. Itu tuh mental jelek orang Indonesia.

Back to focus. Penolakan itu sadis, guys. Lebih sadis dari lagunya Afgan. Ditolak itu menyakitkan. Barangkali orang-orang di lembaga Toefl itu tak pernah tahu rasanya jadi Young Lady cantik. Atau mereka tak tahu rasanya punya anak seperti Young Lady. Keengganan ikut merasakan itu menyebabkan mahalnya empati di negeri kita.

Betapa mahal kesetaraan di negara ini. Negara yang katanya ramah, indah, sejuk, dan kaya. Kesetaraan masih sangat kurang. Dimana-mana, minoritas jadi korban. Mayoritas selalu menang.

Young Lady cantik bermata biru dipeluk hangat oleh malaikat tampan bermata sipit "Calvin Wan". Si "Calvin" ini ikut mencarikan tempat buat Young Lady. Ia berkata dengan lembut, tak mudah bagi sebuah institusi untuk menerima orang spesial. Bagi kebanyakan orang, tempatnya orang spesial ya di tempat khusus juga. Masih menurut dirinya, orang spesial lebih sulit dipahami.

Hmmm benar juga. Tapi, haruskah sesadis itu? Haruskah orang spesial ditolak? Andai saja semua orang cara pandangnya seperti my mom, "Calvin Wan", dan kaka cantik Syifa Ann. Tentu saja orang-orang spesial takkan tertolak dan bisa mendapat hak yang sama.

FYI, mencari pembaca/pendamping ujian yang baik bukanlah perkara mudah. Sering Young Lady waswas kalau dipertemukan dengan orang baru saat ujian. Bagaimana kalau pendampingnya galak dan tidak sabaran? Bagaimana kalau dia tidak bisa membacakan soal dengan baik? Asal tahu saja ya. 

Baik-buruknya kemampuan pembaca soal mempengaruhi hasil ujian. Kalau dia tidak becus membacakan, nilainya bisa anjlok. Kalau dia pembaca yang baik dan sabar, hasilnya lebih optimal.

My mom bukanlah orang yang pandai dan sabar dalam membacakan soal. Salah-salah Young Lady bisa dapat nilai jelek. Malaikat tampan bermata sipit "Calvin Wan" pembaca yang baik dan sabar. Ia mampu jadi pendamping ideal. Kepedulian Mr. Calvin Wan pada orang-orang spesial tak diragukan lagi.

Tapi, sekali lagi, tak semua lembaga/instansi punya kepedulian. Lebih banyak no empati. Hanya karena meragukan kemampuan orang spesial. Ini bentuk diskriminasi, kan? Seperti juga Young Lady cantik yang pernah ditolak mentah-mentah seorang Rektor universitas negeri ternama 4 tahun lalu.

Virus diskriminasi tumbuh subur. Akankah dibiarkan begitu saja? Nope. Lawan, lawan, dan terus lawan diskriminasi. Agar jangan sampai ada diri yang sama di masa depan.

Siapa pun orangnya, entah itu orang spesial, orang dari keyakinan minoritas, atau apa pun, berhak mendapat hak yang sama. Mereka layak mendapat pekerjaan, pendidikan, dan kebahagiaan yang sama dengan kebanyakan orang lainnya. Jangan rampas hak mereka. 

Jangan menguliti keadilan dengan diskriminasi. Permudah setiap orang untuk mendapat kesetaraan. Lawan stereotip dengan kasih sayang. Hapuskan diskriminasi dengan kesamaan.

Young Lady ingat semboyan Minahasa: torang samua basudara. Jika semua orang menghayati dan mempraktikkannya, tak ada lagi bentuk diskriminasi. Seperti juga "si tu tou mou tou, si tu tou mou tou." Bila semua orang benar-benar merasakan ikatan persaudaraan satu sama lain, virus diskriminasi akan tersembuhkan.

Kompasianer, sudahkah kalian aware dengan praktik-praktik diskriminasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun