Tapi, coba saja. Sulit menemukan orang Indonesia yang mau direpotkan dengan hal teknis. Tapiiiiii, giliran menggunjingkan skandal orang lain, mereka ributnya setengah mati. Itu tuh mental jelek orang Indonesia.
Back to focus. Penolakan itu sadis, guys. Lebih sadis dari lagunya Afgan. Ditolak itu menyakitkan. Barangkali orang-orang di lembaga Toefl itu tak pernah tahu rasanya jadi Young Lady cantik. Atau mereka tak tahu rasanya punya anak seperti Young Lady. Keengganan ikut merasakan itu menyebabkan mahalnya empati di negeri kita.
Betapa mahal kesetaraan di negara ini. Negara yang katanya ramah, indah, sejuk, dan kaya. Kesetaraan masih sangat kurang. Dimana-mana, minoritas jadi korban. Mayoritas selalu menang.
Young Lady cantik bermata biru dipeluk hangat oleh malaikat tampan bermata sipit "Calvin Wan". Si "Calvin" ini ikut mencarikan tempat buat Young Lady. Ia berkata dengan lembut, tak mudah bagi sebuah institusi untuk menerima orang spesial. Bagi kebanyakan orang, tempatnya orang spesial ya di tempat khusus juga. Masih menurut dirinya, orang spesial lebih sulit dipahami.
Hmmm benar juga. Tapi, haruskah sesadis itu? Haruskah orang spesial ditolak? Andai saja semua orang cara pandangnya seperti my mom, "Calvin Wan", dan kaka cantik Syifa Ann. Tentu saja orang-orang spesial takkan tertolak dan bisa mendapat hak yang sama.
FYI, mencari pembaca/pendamping ujian yang baik bukanlah perkara mudah. Sering Young Lady waswas kalau dipertemukan dengan orang baru saat ujian. Bagaimana kalau pendampingnya galak dan tidak sabaran? Bagaimana kalau dia tidak bisa membacakan soal dengan baik? Asal tahu saja ya.Â
Baik-buruknya kemampuan pembaca soal mempengaruhi hasil ujian. Kalau dia tidak becus membacakan, nilainya bisa anjlok. Kalau dia pembaca yang baik dan sabar, hasilnya lebih optimal.
My mom bukanlah orang yang pandai dan sabar dalam membacakan soal. Salah-salah Young Lady bisa dapat nilai jelek. Malaikat tampan bermata sipit "Calvin Wan" pembaca yang baik dan sabar. Ia mampu jadi pendamping ideal. Kepedulian Mr. Calvin Wan pada orang-orang spesial tak diragukan lagi.
Tapi, sekali lagi, tak semua lembaga/instansi punya kepedulian. Lebih banyak no empati. Hanya karena meragukan kemampuan orang spesial. Ini bentuk diskriminasi, kan? Seperti juga Young Lady cantik yang pernah ditolak mentah-mentah seorang Rektor universitas negeri ternama 4 tahun lalu.
Virus diskriminasi tumbuh subur. Akankah dibiarkan begitu saja? Nope. Lawan, lawan, dan terus lawan diskriminasi. Agar jangan sampai ada diri yang sama di masa depan.
Siapa pun orangnya, entah itu orang spesial, orang dari keyakinan minoritas, atau apa pun, berhak mendapat hak yang sama. Mereka layak mendapat pekerjaan, pendidikan, dan kebahagiaan yang sama dengan kebanyakan orang lainnya. Jangan rampas hak mereka.Â