"Jose Gabriel Calvin...anak Ayah yang baik," Ayah Calvin memanggil lembut nama Jose.
"Teroris itu orang-orang yang benci perdamaian. Mereka menolak hidup damai karena nggak suka perbedaan. Makanya, Jose sama Silvi harus cinta damai ya. Nggak boleh benci siapa pun hanya karena beda dari kalian."
Lembut, lembut sekali Ayah Calvin menasihati mereka. Nada suaranya terdengar sedih. Jose dan Silvi mengangguk patuh. Mereka berjanji takkan membenci perbedaan.
Jemari Silvi memegang erat ujung gaunnya. Diangkatnya sedikit kain halus itu. Mata birunya terhujam ke langit-langit. Coba aja gaun ini bisa jadi jubah perdamaian, bisik hatinya. Livio dan Hito pasti masih ada. Dan Andrio tak perlu kritis begini.
Perdamaian, kemanakah kau berada? Kenapa orang dewasa gemar sekali merusak perdamaian? Kenapa perdamaian dirusak hanya karena berbeda?
Dimanakah akan dicari perdamaian? Rumah ibadah saja diledakkan. Silvi tak tahu, sungguh tak tahu harus kemana untuk mencari damai itu.
Tak lama, seorang pengunjung lewat. Ia seorang lelaki bercelana dan berkemeja hitam. Jose berteriak, satu tangannya menutup mata. Refleks Ayah Calvin mendekat.
"Kenapa, Sayang?"
Silvi tersentak mendengar teriakan Jose. "Gabriel kenapa?"
"Aku nggak suka baju hitam! Orang-orang yang meledakkan bom itu...bajunya juga hitam!"
Ayah Calvin merengkuh Jose. Bagaimana ini? Padahal Ayah Calvin sering memakai jas hitam. Kasihan Jose.