Young Lady cantik resah. Beberapa minggu lalu, kita dihadapkan pada pemberitaan kasus penembakan di Christchurch, Selandia Baru. 50 orang tewas. Mereka yang sedang beribadah pada Allah, tumbang.
Kurang dari setahun lalu, tiga gereja diledakkan oleh orang-orang bodoh yang menamakan diri mereka "pengantin". Para "pengantin" ini tidak hanya bodoh, tetapi juga kejam. Mereka menewaskan orang-orang tak bersalah yang sedang mengikuti Misa/kebaktian.
Dua peristiwa ini sungguh meresahkan. Terjadi dalam kurun waktu relatif cepat. Bayangkan, kurang dari setahun!
Apakah ini suatu pertanda? Pertanda bahwa sedang tumbuh trend gaya terorisme baru. Gaya itu tak lain adalah membunuh orang-orang yang sedang beribadah. Menembaki mereka di tempat ibadah. Meledakkan tubuh mereka dengan bom dan peluru.
Jika benar perkiraan Young Lady, sungguh menyedihkan. Gaya terorisme baru itu tak boleh dibiarkan tumbuh subur. Jangan sampai ada korban lagi. Cukup sudah Surabaya dan New Zealand.
ISIS sudah hancur lebur. Tapi, benarkah doktrin yang ditanamkannya ikut lenyap? Belum tentu. ISIS hanyalah satu contoh bentuk kekejaman tak terperi atas nama SARA. Bisa jadi muncul ISIS-ISIS yang baru dengan nama berbeda.
Brenton Tarrant dijatuhi hukuman seumur hidup. Namun, pihak keluarga dan MUI mendesak Selandia Baru menjatuhinya hukuman mati. Apakah ideologi yang disebarkannya terkait penembakan atas nama dan ras musnah begitu saja? Tidak juga. Bisa saja muncul Brenton Tarrant-Brenton Tarrant yang baru.
Menangkap teroris itu penting. Tapi yang lebih penting adalah, mencegah paham terorisme berkembang di antara generasi X, Y, dan Z. Karena siapa pun, dari generasi mana pun, bisa jadi teroris.
Membunuh orang yang sedang beribadah merupakan bentuk kekejaman tak terperi. Tidak hanya menghilangkan nyawa, tetapi juga merusak intimasi hamba dengan Tuhannya. Jangan salah bila orang jadi trauma ke tempat ibadah karena serangan terorisme. Tambahan dosa bagi para pelaku teror.
Mengampuni dan memaafkan tidak cukup. Yang harus dilakukan adalah mengurangi, membasmi, dan mencegah bibit-bibit terorisme. Pengawasan harus lebih ketat pada organisasi keagamaan, organisasi sosial, instansi pemerintahan, perusahaan swasta, tempat ibadah, dan institusi pendidikan. Di sanalah paham-paham terorisme rentan tumbuh subur.
Terorisme musuh semua agama. Teroris bukanlah orang religius, tapi orang yang salah memahami ajaran agama. Tiap kelompok pemeluk agama pastilah punya orang-orang radikal. Mereka inilah yang harus diwaspadai.
Terdorong kegelisahan, Young Lady cantik pun menulis novel anak-anak berjudul Dear Malaikat Izrail. Novel itu diposting per bab di Kompasiana. Sebuah novel yang menceritakan tentang terorisme dan kematian dari sudut pandang anak-anak. Malaikat tampan bermata sipitku "Calvin Wan" kembali bermain di novel itu.Â
Novel musikal itu menghadirkan empat tokoh anak-anak beda etnis dan beda agama yang bersahabat dekat. Begitu dekatnya, sampai-sampai jalan ke tempat ibadah masing-masing pun saling ditemani satu sama lain.
Sayangnya, cerita anak itu belum ada gambarnya. Ingin sekali Young Lady terbitkan. Namun Young Lady tak yakin ada penerbit yang mau. Sebab banyak kesedihan dan hal buruk menimpa anak-anak. Sedangkan industri perbukuan anak di negeri kita masih monoton.
Hmmm Young Lady jadi ingat serial Na Willa karya Reda Gaudiamo. Awalnya, serial Na Willa dibukukan lewat program crowdfounding. Tapi, Young Lady tidak sepintar Reda dalam mencari sponsor. Young Lady juga tidak yakin ada yang mau mensponsori. Karena temanya sensitif. Mungkin ada Kompasianer yang mau support Young Lady cantik?
Semoga orang-orang bodoh, kejam, rasis, dan mabuk agama tercerahkan dengan novel anak yang diposting Young Lady di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H