Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wacana Stereotip Rasial, Apa yang Salah?

24 Maret 2019   06:00 Diperbarui: 24 Maret 2019   06:04 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata Sipit, Mata Biru, dan Pandangan Tentang Diskriminasi Nonpribumi di Kompasiana.com. Itu judul skripsi Young Lady. Wow, seksi kan? Mana ada judul skripsi kayak gitu?

Di sini, Young Lady cantik tak akan memaparkan hasil analisisnya. Tapi Young Lady hanya ingin mengungkapkan sisi lain dari penelitian library research yang telah dilakukan.

Alasan Young Lady menghindari penelitian lapangan adalah enggan membangun relasi dengan orang baru. Young Lady bukan orang yang mudah menerima orang baru dalam hidup ini. Lagi pula, Young Lady juga tak punya energi dan ruang gerak untuk mengejar-ngejar informan. So, pilih penelitian library research saja biar aman.

Setahun sebelum skripsi, Young Lady telah memilih dan mengumpulkan data. Perfect, terstruktur ala Young Lady. Akhirnya terkumpul empat artikel.

Keempat artikel yang digunakan untuk bahan penelitian skripsi antara lain:

Imlek dan Ke-Indonesiaan Tionghoa Indonesia

Saya Orang Cina dan Ingin Jadi PNS, Ada yang Salah?

Gadis Mata Biru Portugis Ternyata Bukan Dongeng

Gagal Jadi Mualaf

Jujur saja, Young Lady tak kenal satu pun penulisnya. Young Lady tak tahu apakah Daniel H. T, Claudia Elleosa, Syukri Muhammad Syukri, dan Yoyo masih aktif menulis di Kompasiana atau tidak. Sepertinya mereka pun bukan tipe Kompasianer yang ramah, terbuka, dan suka jalan-jalan ke artikel Kompasianer lain. Jelas berbeda dengan Kompasianer Leya Cattleya, Bu Hennie, Pak Edy Supriatna, atau Pak Tian.

Ok, back to focus. Dari keempat artikel itu, Young Lady cantik mendapati satu hal menarik sekaligus ironis. Bahkan miris bisa jadi. Artikel-artikel yang membahas tentang Tionghoa Indonesia cenderung dark, sadly, emosional, penuh stereotip, dan beraroma diskriminasi. 

Sebaliknya, artikel yang membahas eksistensi orang-orang nonpribumi di luar suku Tionghoa jauh lebih ceria dan ringan. Mengapa begitu? Sedih ya...kayak lagunya Rio Febrian. Sedih...kutahu kini perasaanmu kepadaku.

Tiga artikel yang diteliti Young Lady mengangkat isu-isu Tionghoa Indonesia. Tentang pelarangan Imlek di masa Orde Baru, keheranan orang Tionghoa yang ingin menjadi PNS, dan hubungan cinta beda agama. Satu artikel sisanya tentang wawancara seorang penulis dengan gadis Aceh bermata biru.

Terlihat jelas sekali perbedaan penggambaran warga Tionghoa Indonesia dengan warga asing campuran Indonesia lainnya. Mengapa kalangan Tionghoa Indonesia digambarkan negatif, sarat stereotip, dan penuh diskriminasi? Sedangkan kalangan nonpribumi tapi bukan Tionghoa nampaknya fine-fine aja. Mereka diterima dengan baik. Bahkan mereka dipandang menarik.

Bila dilihat dari sisi sejarah, Tiongkok dan warganya tidak pernah menjajah Indonesia. Justru yang menjajah Indonesia adalah orang-orang bermata biru! Lalu, kenapa yang dibenci malah mata sipit? Kalau pribumi mau membenci, kenapa tidak membenci orang bermata biru saja? Young Lady bermata biru. Tapi sepanjang hidup, tidak pernah menerima ejekan rasis. Ejekan yang mengarah pada Young Lady lebih cenderung pada mata dan fisik.

Paling aneh kalau Young Lady lagi jalan-jalan sama my mom. Pasti Young Lady ditatap heran sama orang-orang. Karena risih, Young Lady bertanya.

"Kok mereka liatin aku sih?"

Dan my mom menjawab, "Mereka heran. Kok matamu bagus banget sih? Kok matanya kayak orang Barat sih?"

Balik lagi ke ras bermata sipit. Kalau mereka tidak salah dan tidak pernah menjajah, kenapa mereka dibenci? Apa persoalannya karena iri? Logisnya sih begini ya. Bisa jadi, kenyataannya kalangan Tionghoa Indonesia lebih rajin dari pribumi. 

Makanya mereka sukses. Bukankah pribumi yang menjadi pelayan di negerinya sendiri adalah pribumi yang malas? Ya wajar dong pribumi kurang sukses, karena mereka malas. Karena mereka kurang pintar, kurang strategi, kurang cekatan, kurang tinggi semangat kerjanya.

Atau satu faktor lagi, tapi ini lebih spiritualis sih: kebencian. Hellooo, Tuhan kan Maha Mengetahui. Ia mengetahui isi hati kita semua. Mungkin Ia tak senang karena ada sekelompok umatNya yang memendam iri dengki pada kelompok lain, bahkan sampai menyakiti kelompok lain. Makanya Ia tak merestui bila kelompok sirik itu sukses. Justru Tuhan mensukseskan orang-orang yang teraniaya. Bisa jadi, kan? Cara kerja Tuhan  tuh misterius.

Eits, tapi tapiiii...nggak semua Tionghoa Indonesia sukses juga loh. Lihat di Tangerang. Coba mampir ke Singkawang.

So, Young Lady heran. Kenapa penggambaran Tionghoa Indonesia identik dengan sesuatu yang sedih, gelap, suram, dan menakutkan? Sedangkan nonpribumi lainnya dianggap menarik, bikin penasaran, layaknya tuan, bahkan udah kayak malaikat aja. Padahal beberapa di antara mereka dulunya bangsa penjajah. Oh ya, Young Lady juga lebih suka memakai kata 'Tionghoa' dibandingkan 'Cina'. Sebab kata 'Tionghoa' lebih halus, lembut, dan tidak kasar.

Ingin Young Lady membukukan skripsi itu. Menerbitkannya sampai jadi buku nonfiksi. Tapi Young Lady yakin, sulit sekali menemukan penerbit yang mau menerbitkan tulisan kontroversial seperti itu.

Hmmmm, Young Lady cantik jadi ingat novel Harry Potter dan To Kill A Mockingbird. Di sana terdapat selipan tema rasial. Kalau kalian pernah baca Harpot, pasti tahu istilah darah-murni dan darah-lumpur. Darah-lumpur dianggap berbahaya dan harus dihabisi. Padahal apa salah mereka? Justru kebanyakan penyihir darah-lumpur adalah orang yang pintar. Hermione Granger misalnya.

Sama seperti kasus kalangan Tionghoa Indonesia. Mengapa harus stereotip? Apa yang salah dari itu ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun