Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teroris Itu Membunuh Sahabatku

21 Maret 2019   06:00 Diperbarui: 21 Maret 2019   06:22 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

SUV putih itu meluncur memasuki rumah besar bertingkat tiga. Halaman depannya luas. Rumput manila terhampar, hijau menyejukkan mata. Supir berkemeja coklat dan bertopi fez mengeluarkan kursi roda dari dalam bagasi. Lalu dibukanya pintu belakang. Mengangkat tubuh seseorang, mendudukkannya di atas kursi roda.

"Jangan, biar saya sendiri." tolak pemuda tampan di atas kursi roda itu dengan halus.

"Tapi Tuan Calvin..."

"Tidak adil. Kamu capek-capek mendorong saya, sementara saya hanya duduk di sini."

Si driver hanya bisa membiarkan tuan tampannya menjalankan kursi roda sendirian. Tatapannya mengawasi hingga tuan tampan bermata sipit itu berbelok ke halaman belakang. Antara halaman depan dan belakang dibatasi selasar pendek berumput.

Gemericik air menyambutnya saat Calvin tiba di halaman belakang. Kolam renang yang dangkal dan biru ia datangi. Di dekat kolam renang, terdapat dua pasang kursi santai, meja kaca, dan baby piano.

Lama ia terdiam. Tatapannya menerawang ke permukaan air kolam. Dulu, Revan sering melewatkan waktu sore di sini. Berenang bersamanya, tertawa-tawa, saling mencipratkan air, berlomba renang dari ujung kolam satu ke ujung lainnya. Tapi itu dulu. Semuanya berubah sejak...

Ah, Calvin tak ingin mengingatnya lagi. Rasa sakit menusuk jiwa. Tenggorokannya perih, sangat perih. Calvin terbatuk. Ia terlupa.

**   

Butir-butir obat itu tergenggam di tangan. Tak ada gunanya. Toh kondisinya begini-begini saja meski telah menelan obat puluhan tablet. Ia benci mesti bergantung pada obat-obatan itu.

Air bening mengalir dari dispenser. Gelas kristal terisi penuh. Perlahan Calvin meminum obatnya. Menenggak butir-butir yang dibencinya bersama air putih. Pengalaman traumatis setengah tahun lalu melintas. Saat dia memuntahkan kembali obatnya karena kesulitan menelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun