Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pagi Bersama Malaikat

13 Maret 2019   06:00 Diperbarui: 13 Maret 2019   07:35 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Couleur from Pixabay">

"Selamat pagi, Princess."

Calvin membungkuk, mencium kening Silvi. Lembut membangunkan wanita yang telah mewarnai harinya selama bertahun-tahun.

Silvi terbangun, menggeliat, dan bergumam kecil. Pelan ia menyingkap selimut. Wangi Blue Seduction membelai hidungnya. Kecupan di kening, wangi khas, dan ucapan "selamat pagi". Rutinitas berulang yang tak pernah menjemukan.

"Ini luka apa?" tanya Calvin tajam.

Dua torehan memanjang terlihat di leher dan lengan Silvi. Terdapat robekan kecil di lipatan gaun tidurnya. Silvi merengut.

"Bukan urusanmu," jawabnya ketus.

"Penting bagiku, Silvi. Kau melukai dirimu lagi ya?"

Dengan marah, Silvi melepas pegangan tangan Calvin. Susah payah bangkit dari ranjang queen sizenya. Tertatih melangkah ke walk-in-closet. Tanpa diminta, Calvin meraih tangannya. Menuntun Silvi, memastikan wanitanya tidak terjatuh atau salah arah.

Calvin memilihkan dress cantik untuk Silvi. Membantu Silvi menyiapkan pakaian dan make up. Memastikan letak botol-botol sabun, shampoo, tonik, lotion, parfum, dan pembersih wajah tetap pada tempatnya. Tiap pagi, selalu begini.

Setengah jam Calvin menanti Silvi membilas diri. Setelahnya ia bawa istrinya itu turun tangga. Disambuti tatapan-tatapan sembilan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah besar lereng bukit.

"Kenapa kalian menatap saya seperti itu? Jas saya jelek ya?" Malaikat tampan bermata sipit itu tersenyum, ramah. Terang saja kesembilan pekerja itu kikuk. Buru-buru mereka kembali bekerja. Ada yang menggantai seprai, membersihkan lukisan-lukisan mahal, membersihkan karpet dengan vacum cleaner, menyetrika pakaian, dan mengelap pajangan-pajangan kristal.

Ekspresi ramah di wajah Calvin kontras dengan Silvi. Ia tetap dingin. Tersenyum pun tidak. Menyapa pelayan-pelayannya sama sekali bukan tradisi Silvi.

"Aku tidak mau sarapan di sini." tolak Silvi saat mereka tiba di ruang makan.

"Ok. Terus kamu maunya dimana?" tanya Calvin sabar.

"Di dekat kolam renang."

Itu tempat favorit mereka. Calvin kembali menuntun Silvi ke ruang terbuka dekat kolam renang. Dua kursi rotan berdiri kokoh mengelilingi meja terracotta. Baby piano mengapit meja.

Mereka menikmati sarapan ditemani gemericik air. Bisikan angin membelai jas putih dan dress biru Silvi. Wafel mentega almond terasa makin lezat. Calvin dan Silvi terinspirasi menu sarapan Justin Timberlake.

**  


Teringat pada saat itu

Tertegun lamunanku melihatmu

Tulus senyumanmu

Sejenak tenangkan hatiku

Yang telah lama tak menentu

Rasa sepi yang telah sekian lama

Selimuti ruang hati yang kosong

Perlahan telah sirna

Bersama hadirnya kasihmu

Yang buatku percaya lagi

Dan kuakui hanyalah dirimu

Yang bisa merubah segala sudut pandang gila

Yang kurasakan tentang cinta

Yang selama ini menutup pintu hatiku

Yang kini telah kaubuka

Di saat ku sudah lelah mencari

Di saat hati ini telah terkunci

Kau datang membawa seberkas harapan

Engkau yang memiliki kunci hatiku

Dan kuakui hanyalah dirimu

Yang bisa merubah sudut pandang gila

Yang kurasakan tentang cinta

Yang selama ini menutup pintu hatiku

Yang kini telah kaubuka

Tiada kata yang mampu

Utarakankan betapa indah

Izinkan ku tuk selalu

Berada di sampingmu

Dan kuakui hanyalah dirimu

Yang bisa merubah segala sudut pandang gila

Yang kurasakan tentang cinta

Yang selama ini menutup pintu hatiku

Yang kini telah kaubuka

Yang kini telah kaubuka (Afgan-Kunci Hati).

Dentingan piano Calvin menggetarkan hati Silvi. Suara Calvin yang lembut dan empuk sangat pas membawakan lagu itu. Meski demikian, Silvi berusaha keras mengatur ekspresi wajahnya sedingin mungkin. Terlalu besar gengsinya mengakui kekagumannya pada Calvin.

"Masih ada setengah jam lagi," kata Calvin seraya mengecek Guessnya.

"Kau mau kubacakan buku?"

"Aku bukan anak kecil!" protes Silvi galak.

Calvin tersenyum sabar. "Bukankah tidak semua buku dialihhurufkan, Princess?"

"Kita berangkat saja sekarang. Terserah kalau kau tak mau mengantarku. Aku bisa pergi..."

"Takkan kubiarkan kau pergi sendiri."

Jari-jari lentik itu menggenggam erat tangan Silvi. Desiran kuat yang sama, hangat yang sama, mengalir lembut. Lima menit berselang, Calvin dan Silvi sudah duduk manis di dalam BMW putih yang melaju menuruni bukit.

Perjalanan cukup lancar. Ruas-ruas jalan tak begitu padat. Mereka melewati pusat bisnis, gedung-gedung pencakar langit, kantor berita, stasiun radio, dan sekolah Islam. Saat melintasi sekolah Islam, Silvi mendengar raungan sirine. Ambulans, pikirnya. Refleks dicengkeramnya tangan Calvin kuat-kuat.

"Kenapa, Silvi?" Bukannya mengaduh, Calvin menanyai istrinya dengan lembut.

"Calvin, itu suara ambulans kan? Terasa sakit di sini..."

Sontak Calvin menepikan mobilnya. Lalu ia memeluk Silvi.

"Bisakah kau berpikir positif, Princess? Syukur pada Tuhan, tak ada orang-orang yang kaucintai di dalam ambulans. Kau juga bisa mendoakan pasien di dalamnya, semoga dia cepat sembuh."

Bermenit-menit dalam pelukan Calvin mentransmisikan sinyal cinta. Ketenangan meresapi hati, menenteramkan jiwa. Setelah Silvi kembali tenang, Calvin kembali melajukan mobilnya.

**    

Jari telunjuk Calvin bertaut dengan telunjuk Silvi. Mereka berdua melangkah bersisian menyusuri koridor. Lalu-lalang mahasiswa menyapa Silvi penuh hormat. Mencium tangannya, menanyakan keadaan matanya. Banyak mahasiswi melempar pandang kagum ke arah Calvin. Menatapi wajah tampannya berlama-lama. Membisikkan kekaguman.

Bagaimana tidak, Calvin yang menggandeng tangan Silvi ke kelas tiap pagi sukses membuat para mahasiswi meleleh. Dua kali seminggu, Silvi rutin mengajar di kampus itu. Tak banyak mata kuliah yang diajarnya. Calvin selalu mengantarnya ke depan kelas, menemaninya hingga ia selesai mengajar. Begitu terus setiap minggu, setiap pagi, sepanjang tahun.

"Take care," ujar Calvin lembut sesampai di depan kelas.

Dikecupnya kedua pipi Silvi. Beberapa mahasiswa tak sengaja melihatnya. Mereka tersipu, Silvi tetap dingin.

Setelah Silvi masuk ke dalam kelas, Calvin tak beranjak. Ia tetap di koridor itu. Menunggu, menunggu dengan sabar.

Tak hanya menunggu, Calvin menyibukkan diri menulis artikel. Memperbarui isi websitenya. Sesekali membuka e-mail. Mengecek progres perusahaan miliknya yang diurus sepupunya. Meredam komplain sang sepupu karena ditumpuki amanah mengurus perusahaan sebesar itu.

Ya, Calvin punya alasan untuk berhenti mengurus perusahaan. Semata demi Silvi. Silvi lebih butuh dirinya.

Betapa Calvin mencintai Silvi. Tiap pagi, Calvin menggandeng tangan Silvi ke dalam kelas. Mengantarnya kemana saja, menjaganya, menyanyikan lagu untuknya, membacakannya buku, memastikan penampilannya tetap cantik, sesekali menguncirkan rambutnya, membantunya mengunggah artikel, dan memberikan waktu dari pagi sampai malam hanya untuknya. Cinta sebesar itu, mengapa harus diragukan?

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun