"Masih ada setengah jam lagi," kata Calvin seraya mengecek Guessnya.
"Kau mau kubacakan buku?"
"Aku bukan anak kecil!" protes Silvi galak.
Calvin tersenyum sabar. "Bukankah tidak semua buku dialihhurufkan, Princess?"
"Kita berangkat saja sekarang. Terserah kalau kau tak mau mengantarku. Aku bisa pergi..."
"Takkan kubiarkan kau pergi sendiri."
Jari-jari lentik itu menggenggam erat tangan Silvi. Desiran kuat yang sama, hangat yang sama, mengalir lembut. Lima menit berselang, Calvin dan Silvi sudah duduk manis di dalam BMW putih yang melaju menuruni bukit.
Perjalanan cukup lancar. Ruas-ruas jalan tak begitu padat. Mereka melewati pusat bisnis, gedung-gedung pencakar langit, kantor berita, stasiun radio, dan sekolah Islam. Saat melintasi sekolah Islam, Silvi mendengar raungan sirine. Ambulans, pikirnya. Refleks dicengkeramnya tangan Calvin kuat-kuat.
"Kenapa, Silvi?" Bukannya mengaduh, Calvin menanyai istrinya dengan lembut.
"Calvin, itu suara ambulans kan? Terasa sakit di sini..."
Sontak Calvin menepikan mobilnya. Lalu ia memeluk Silvi.