Malam itu, Calvin harus berpisah dengan beberapa helai rambutnya. Helaian mahkota ciptaan Tuhan berguguran di bantal. Jahat sekali obat-obatan yang telah merenggut paksa.
Bantal sutra putih tak lagi bersih. Dengan hati pedih, Calvin menatapi helaian rambutnya yang menempel di sana. Perlahan dia bangkit. Ranjang king size itu ditinggalkannya.
Setelah ini apa lagi? Ia tatapi refleksi dirinya di cermin. Calvin kehilangan sebagian ketampanannya. Bukan, bukan karena usia. Tapi karena obat-obatan dan penyakit.
Lihatlah, tubuhnya tak seatletis dulu. Tak setegap dulu. Tubuhnya tak lagi proporsional.
Frustrasi menghujam hatinya kuat. Dipalingkannya tatapan dari cermin besar. Sungguh, Calvin belum siap mendapati perubahan drastis pada tubuhnya.
Bukan hanya jam biologisnya yang berubah, tetapi juga penampilannya. Penyakit ini telah mengubah banyak hal. Ya, Allah, apa salah Calvin hingga ia harus ditimpa penyakit stadium lanjut?
Langkahnya sedikit limbung saat menghampiri grand piano putih. Beludru putih dibuka. Sepuluh jarinya bergerak naik-turun di atas bidang hitam-putih itu. Untaian nada dimainkan.
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta
Saat itu kehadiranmu
Memberi arti di hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu yang kurindu
Kehangatan cinta dalam pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayanganmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar tiba...
Nyanyiannya sontak terhenti. Calvin merasakan pisau besar menusuk tenggorokannya. Sakit sekali. Awalnya semua baik-baik saja, tapi...
"Kau selalu ada walau tersimpan...di relung hati terdalam."
Sebuah suara mezosopran menutup lagu. Finalitas, pikirnya. Susah payah Calvin menyelesaikan permainan pianonya.
"Calvin, are you ok?"
Sepasang tangan halus memeluknya dari belakang. Wangi Victoria Secret menyeruak. Berpadu dengan wangi Blue Seduction dari tubuhnya sendiri.
"Silvi, maaf. Aku membangunkanmu, ya?" kata Calvin, dan ia benar-benar menyesal.
Silvi tersenyum lembut. "Tidak, sama sekali tidak. Aku..."
Tak sempat kalimatnya terselesaikan. Dalam pelukan Silvi, tetiba Calvin terbatuk. Darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya.
"Calvin, kita ke rumah sakit sekarang. Kamu..."
"Tidak, Silvi. Tidak."
Keras kepala, Silvi berbisik dalam hati. Calvin kembali terbatuk. Punggungnya sakit sekali.
Calvin melepas pelukan Silvi dengan lembut. Ditatapnya mata biru pucat itu lurus-lurus.
"Silvi, kenapa kamu masih di sini? Kenapa kamu masih bersamaku?"
Pertanyaan itu sukses menghempaskan hati Silvi. Bukan kali pertama suaminya melempar tanya.
"Pilihanku untuk tetap bersamamu," sahut Silvi tenang.
Tanpa diduga, Calvin menggamit tangan Silvi ke depan cermin. Bayangan mereka terdistorsi. Dapat Silvi lihat dengan jelas perubahan itu. Tubuh yang tak lagi atletis, kulit yang menghitam karena efek samping kemoterapi, dan rambut yang kian menipis.
"Apa yang kaulihat dariku, Silvi?" bisik Calvin putus asa.
Malaikat tampan bermata sipit itu tak lagi tampan. Silvi tersenyum perih. Lembut digenggamnya tangan Calvin. Mengapa tangan Calvin sedingin es?
"Kamu itu malaikat tampan bermata sipitku. Kini, nanti, dan selamanya."
Reaksi Silvi di luar perkiraannya. Serangkai kata yang sudah disiapkan Calvin gagal terucap.
"Calvin, aku mencintaimu karena Allah."
** Â Â
Jika ia mencintaimu,
Ia akan tetap memujimu tampan
Walau kulitmu menghitam
Rambutmu menipis
Dan tubuhmu tak lagi tegap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H