"Darah malaikat tercecer di gereja..."
"Satukan kekuatan kita..."
"Perangi terorisme!"
Yel-yel diteriakkan. Sekumpulan pria-wanita cantik dan tampan melangkah gagah menyusuri jalan protokol. Pita merah putih terpasang di lengan mereka. Setiap orang menenteng kardus berisi uang.
Calvin memimpin barisan. Wajahnya pucat tapi tegar. Diarahkannya teman-temannya mengikuti aksi solidaritas dengan tertib. Berjalan di jalur yang semestinya. Tidak menginjak rumput hijau. Tidak memetik bunga dan tanaman hias. Tidak menghalangi para pengguna jalan yang lain.
Semua mata tertuju pada mereka. Pemandangan langka, ketika fotografer dan model menyatukan kekuatan. Mereka biasanya keluar-masuk layar kaca, tampil eksklusif di atas runway, kini tebar pesona di jalan raya. Akhir pekan begini, bukannya mengambil job, mereka malah melenggak-lenggok di ruas jalan beraspal demi menegakkan toleransi.
Setengah jam berparade, langkah kaki Calvin tak lagi tegak. Sedikit limbung, sedikit terseret. Wajahnya makin pias. Sesekali ia memegangi tulang rusuknya. Namun, percayalah, binar semangat di mata sipit itu tak padam.
Sesosok pria tinggi, berambut pirang, dan bermata biru melangkah keluar barisan. Mengabaikan protes kawan-kawannya, ia pegang tangan Calvin.
"Istirahatlah, Calvin. Nanti sakitmu tambah parah." bisik pria bermata biru itu.
Calvin menepis pelan tangan sahabatnya. "Janji harus ditepati, Revan."
Revan mendesah tak sabar. Sok idealis, pikirnya. Bisa-bisa Calvin tumbang lagi.