"Terima kasih," ujar Revan ramah, berlutut di tengah kardus penuh gunungan uang.
Diliriknya panggung. Calvin masih membawakan lagu. Masih melempar senyum menawan. Ah, mereka tak tahu. Sungguh tak tahu. Calvin sesungguhnya tengah kesakitan.
Rasa panas, letih, dan haus para fotografer dan model lainnya tak sebanding dengan rasa sakit pemimpin mereka. Calvin, inisiator gerakan solidaritas ini, berjuang paling keras melawan kesakitan. Lihatlah, hasilnya tidak sia-sia.
Revan melambaikan tangan, tersenyum ke arah Calvin. Paham maksudnya, Calvin balas melambai dan tersenyum. Sedetik. Tiga detik. Lima detik.
Bruk!
Model, blogger, dan inisiator gerakan kasih untuk korban bom gereja itu jatuh pingsan. Darah segar mengalir dari hidungnya.
** Â Â
Wanita cantik bergaun putih itu menangis. Digenggamnya tangan Calvin erat. Sungguh, ia sangat takut kehilangan Calvin.
"Malaikatku, bertahanlah. Jangan pergi...jangan tinggalkan aku." Ia memohon, terisak-isak.
Kamar rawat VIP itu sunyi. Mesin elektrokardiograf berpacu pelan.
Pintu ruangan terbuka perlahan. Revan melangkah masuk. Satu tangannya menggenggam amplop putih berlogo rumah sakit. Dua pasang mata biru beradu. Kakak-beradik itu saling lempar tatapan penuh arti.