Rinai hujan memeluk pagi. Awan-awan memecah. Menyisakan warna putih di kaki langit. Udara dingin sekali. Laut bergelombang, sedikit memperlihatkan amarahnya.
Di tengah derai hujan, Calvin mengayun langkah ke rumah mewah tepi pantai. Ia hampir terlambat. Sebentar lagi pukul delapan. Tak ingin dikecewakannya Abi Assegaf.
Tiba di halaman rumah, Calvin berpapasan dengan pengantar susu dan kurir. Pengantar susu turun dari motornya. Mengangsurkan botol-botol susu ke tangan Calvin. Si kurir berwajah legam mengulurkan amplop putih. Tertulis nama Abi Assegaf di alamat penerima.
"Ada surat untuk Abi," kata Calvin setelah meletakkan botol-botol susu di dapur.
"Dari siapa, Calvin?"
"Adeline." Calvin membaca nama pengirimnya.
Kerutan di dahi Abi Assegaf terurai menjadi senyuman itu. Senyum itu, binar mata itu, belum pernah Abi Assegaf sangat bahagia mendapat surat. Calvin duduk di sampingnya.
"Tolong bacakan surat itu untukku, Calvin."
Ah, ini terlalu ironis. Seharusnya tugas ini lebih pantas dilakukan Adica. Tak apa, menyuruh Adica pulang untuk membacakan surat itu berat. Biar Calvin saja.
Pelan dibukanya amplop. Hati-hati sekali agar tidak robek. Abi Assegaf mengawasi gerakan tangannya. Cekatan tetapi lembut, pikir pria itu salut. Dengan suara bassnya yang empuk dan merdu, Calvin mulai membaca.
Dear Assegaf,