Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] "Crazy Rich Refrain"

3 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 3 Januari 2019   06:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanda tanya bersemi di hati orang-orang. Bagaimana bisa Deddy yang angkuh dan kasar bersahabat dengan Assegaf yang lembut dan penyabar? Putra Mei Riantama dan putra Tamara Shihab bersahabat dekat.

"Mungkin di kehidupan sebelumnya, ibu kita saling kenal. Lalu ibu kita berjanji jika anak mereka lahir laki-laki, maka akan jadi sahabat dan saudara. Jika laki-laki dan perempuan, harus dijodohkan." kata Deddy setengah bercanda pagi itu.

Assegaf tak percaya reinkarnasi. Agamanya mengajarkan hidup hanya sekali. Namun demi menghargai ajaran yang diyakini Deddy, ia memasang senyum.

"Apakah di kehidupan selanjutnya kita tetap sahabatan, aku tidak tahu." Deddy melanjutkan.

Tak ada kehidupan kedua atau ketiga. Hanya ada alam akhirat yang kekal abadi. Assegaf hanya menyuarakannya dalam hati. Toleransi, toleransi, toleransi.

"Sudah ah. Serem ngobrolin kehidupan terus. Aku mau ketemu Tania dulu. Bye."

Setelah berkata begitu, Deddy berlari ke mobilnya. Mengendarai sedan hitam itu keluar halaman Refrain Radio. Assegaf melambaikan tangan, lalu berbalik ke lobi.

Bisa saja ia pergi. Toh durasi siarannya sudah usai. Entah mengapa, owner Refrain Radio itu ingin tetap di sini. Ada tarikan di hati yang menyuruhnya stay di studio.

Sesaat Assegaf membaca  laporan dan surat-surat testimoni dari pendengar. Cukup puas dengan respon mereka. Refrain Radio setia dan konsisten. Sekali di udara tetap di udara.

Jelang waktu Zuhur, Sasmita datang. Matanya agak merah. Sedikit terhuyung ia memasuki studio. Tangan Assegaf terulur tanpa diminta, membantu sahabat freakynya itu duduk. Sasmita baru saja mabuk lagi.

"Mana Deddy?" tanya Sasmita.

"Date sama Tania. Kamu tidak apa-apa, Sasmita?"

Sasmita menggosok matanya. "Abah sama Ambu marah-marah lagi. Kata mereka, mau jadi apa kamu kalau mabuk terus? Malu kali ya...ulama terkenal, anaknya mabuk-mabukan."

Assegaf tersenyum sabar. Pelan menepuk-nepuk punggung sahabatnya.

"Sudah saatnya kaudengarkan mereka, Sasmita."

"Ah, bullshit! Memangnya mereka pernah mendengarkanku?"

Percuma menasihati pemabuk. Nampaknya, sisa-sisa alkohol belum meninggalkan raga itu. Assegaf beranjak pergi. Dibuatkannya secangkir teh untuk Sasmita.

"Thanks," kata Sasmita singkat setelah menerima gelas yang diulurkan Assegaf.

**    


Baru putus baru saja putus

Tak perlu engkau bingung

Lebih baik kita terus maju

Gapai mimpi yang baru

Punya pacar harus lebih baik

Punya pacar harus lebih keren

Tapi keren gak cukup

Yang paling penting

Kita harus bahagia

Hati-hati harus hati-hati kalau masalah hati(Masalah hati)

Jangan sampai mengulang cerita

Salah pilih pilih kekasih

Punya pacar harus lebih baik

Punya pacar harus lebih keren

Tapi keren gak cukup

Yang paling penting

Kita harus bahagia (Yura Yunita-Harus Bahagia).

**    

Sasmita dan Assegaf baru selesai mengambil wudhu ketika mobil Deddy menderu memasuki halaman parkir. Keheranan, mereka bergegas keluar mushala.

Deddy turun dari mobil dengan wajah kusut. Penampilannya tak serapi tadi pagi. Jasnya dilepas. Kemeja putih tanpa dasi terlihat jelas memperlihatkan perut dan lingkar lengannya. Langkahnya sedikit terseret.

"Deddy?" panggil Assegaf hati-hati.

"Ada apa?"

Bukannya menjawab, Deddy malah menjatuhkan diri di tangga mushala. Sebuah isyarat. Shalatlah dulu, baru nanti kuceritakan. Begitu maknanya.

"Bener loh ya, kamu mau cerita. Jangan kabur!" seru Sasmita sebelum berlari masuk ke dalam.

Meski telah mengucap ta'awudz, tetap saja shalat mereka tak khusyuk. Assegaf sibuk mencemaskan Deddy. Rasa ingin tahu Sasmita lebih besar dibandingkan kecemasan. Sudah lama Sasmita ingin membalas Deddy atas kepuasannya menertawakannya setelah putus cinta waktu itu. Godaan setan memang terkutuk. Setan mengacaukan shalat dua lelaki muda kaya itu.

Terburu-buru mereka kembali ke kaki tangga. Deddy masih di sana. Masih dengan ekspresi yang sama.

"Sebenarnya kamu kenapa, Deddy?" tanya Assegaf lembut.

"Aku putus sama Tania."

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik, Sasmita tertawa puas. Ia puas, puas sekali menertawakan Deddy. Assegaf terlihat sedih. Sedih yang sungguh-sungguh tulus.

"Sorry to hear that..." ucapnya.

Sasmita masih saja tertawa. Ia tertawa sampai keluar air mata. Terbalas sudah dendam pribadinya. Deddy melotot, tetapi gagal.

"Puas kamu menertawakanku!" serunya frustrasi.

"Yang kemarin menertawakanku waktu putus siapa?" balas Sasmita penuh kemenangan.

"Yang traktir kamu ice cream single scoope 120K dan salmon steak 200K siapa?"

Mulailah keduanya berdebat. Assegaf hanya diam, enggan mendamaikan. Lagu lama. Sahabat tapi musuh. Tom and Jerry versi Refrain Radio.

"...Yang bayar charge sewa cottage sama party minggu lalu siapa?"

"Hei, Deddy Riantama! Yang kasih kado jam tangan Guess pas ultahmu bulan kemarin siapa?"

"Yang ajak kamu jalan-jalan keliling Eropa siapa?"

"Yang beliin kamu Nike sebelum tanding basket siapa?"

"Yang bawain California Mountain Red siapa?"

"Yang pinjemin villanya buat perayaan anniversary siapa?"

Assegaf menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan tingkah dua sahabat borjunya itu. Seperti melihat Crazy Rich Refrain. Lupakah Deddy dan Sasmita, bahwa Assegaf jauh lebih kaya dari mereka?

"Stop! Berantem di depan rumah ibadah! Kalian nggak tahu malu!"

Bukan Assegaf yang meneriaki mereka. Tetapi...

"Arlita?"

Gadis cantik Indo-Jerman itu berjalan anggun ke dekat mereka. Rambut panjangnya tergerai rapi. Wangi Shalimar by Guerlain begitu khas dari sosoknya. Deddy dan Sasmita sontak terdiam.

"Kalian lupa atau bodoh? Jelas Assegaf lebih kaya dari kalian! Tapi dia tenang-tenang saja!"

Mendengar itu, hati Assegaf berdesir. Arlita menyebut namanya? Arlita membandingkannya dengan dua yang lain?

"Deddy!" Jari lentik berkuku lancip Arlita menusuk lengan Deddy.

"Kalau toko bangunan dan jaringan resto keluarga Riantama bangkrut, kamu takkan lebih kaya dari Assegaf."

Menakutkan juga gadis ini kalau sedang emosi. Kini ia beralih pada Sasmita.

"Kalau Abahmu tetiba turun pamornya dan sepi job, kamu tidak akan lebih kaya dari Deddy."

Sasmita bergerak ketakutan. Hal yang membuat pamor seorang ulama turun adalah ceramah radikal, tingkah tak pantas di publik, dan poligami kontroversial.

Saat itulah Assegaf tersadar. Kalung di leher Arlita kalung emas biasa. Bukan lagi kalung salib.

"Arlita, kalungmu..."

"Iya. Aku sudah tak pakai kalung salib lagi, Assegaf." Arlita tersenyum hangat.

Refleks Assegaf bangkit berdiri. Lengannya terentang. Arlita menyambut pelukan itu. Keduanya berpelukan, berputar seolah sedang berdansa, lalu menjauh dari kaki tangga.

Deddy dan Sasmita terdiam, sempurna diam. Selamat tinggal perdebatan konyol ala Crazy Rich. Kemajuan pesat hubungan Assegaf-Arlita jauh lebih membahagiakan.

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun