"Kenapa?"
"Aku hanya ingin denganmu. Bahkan bila kita harus menghabiskan malam di taman ini, aku tak keberatan."
Kerak-kerak es lumer di dinding hati. Dalam gerakan slow motion, Assegaf merengkuh Arlita ke pelukan. Membiarkan detik-detik waktu jadi milik mereka.
Sungguh, Assegaf pun ingin menghabiskan malam bersama Arlita. Memeluknya, tak pernah melepasnya lagi. Tapi tak semudah itu.
Tersimpan ketakutan besar jauh di dalam hati. Seorang Habib, keturunan Rasulullah yang mulia, mencintai gadis Katolik. Apa kata keluarganya?
Bila cemoohan itu hanya untuk dirinya sendiri, Assegaf tak peduli. Namun, bila Arlita yang menjadi korban...?
** Â Â
Kediaman utama kosong. Sepi, sepi yang sama menyergap hati Assegaf. Kesepian rasa anak tunggal yang disia-siakan orang tuanya.
Perlahan dibukanya pintu. Hembusan air conditioner menyerbu lengan, kaki, dan tengkuk. Setengah jam melarutkan beban beratnya di bathtub, memperbaiki penampilan, memastikan tubuhnya tetap segar dan wangi sebelum naik ke tempat tidur. Dalam keadaan apa pun, ia berusaha tetap tampil fresh dan wangi.
Pandangannya tertumbuk ke arah laptop. Notebook mahal itu di-set dalam keadaan "slep". Assegaf menaikkan layarnya. Menekan tombol, menunggu sampai layar berpendar putih.
Ia membuka e-mail. Banyak sekali pesan masuk. Kebanyakan surat elektronik pribadi. Isinya curhatan para pendengar Refrain. Banyak juga e-mail dari followersnya. Sebagai penyiar dan public figure, Assegaf punya pengaruh yang kuat. Ia influencer. Orang-orang yang tak percaya dengan psikolog, sering curhat masalah cinta padanya.