"Deddy, kenapa tidak dihabiskan?"
"Calvinku, kamu tidak suka menunya ya? Mau ganti?"
Arlita dan Dokter Tian menanyakan hal itu di waktu bersamaan. Mereka saling pandang. Deddy meletakkan sendoknya, enggan menghabiskan puding. Rasa mual yang naik ke perutnya membuat Calvin berhenti menyentuh pasta panggang.
Kontras dengan Adica yang telah mengosongkan porsi Lasagna. Begitu pula Silvi yang terlihat menikmati steaknya. Potongan terakhir klapertart Revan telah lenyap. Sasmita menandaskan sisa Coto Makassarnya.
Dokter Tian cukup kreatif memilih resto. Diajaknya mereka semua makan siang di resto yang memiliki banyak pilihan menu. Mulai dari menu Western hingga Indonesian food. Jangan salah, perbedaan selera makan pun kerap kali menjadi masalah. Tak mau Dokter Tian mengambil risiko.
"Ada lagi yang mau tambah sesuatu?" tawar Dokter Tian.
Seisi meja menggeleng. Tangan Dokter Tian terangkat, meminta bill. Sekilas Calvin melirik angka pada lembar kertas itu. Menyentuh enam ratus tujuh puluh ribu. Harga makanan di sini memang mahal. Tapi, sebanding dengan kualitas rasa dan kebersihannya. Harga makan siang seorang dokter kaya yang tak lagi memiliki tanggungan anak.
"Kenapa kau tak menghabiskan makananmu, Deddy? Tidak sopan kau ya..." desak Arlita.
Pria Tionghoa itu tak menjawab. Gemas, Arlita mencubit tangan Deddy keras-keras. Praktis ia berteriak kesakitan, balas menampar tangan Arlita.
"Makanya, jawab pertanyaanku!" sergah Arlita kesal.
"Kuadukan kau pada Assegaf. Dunia sudah mau kiamat. Assegaf lembut begitu, istrinya menyeramkan."