"Itu semua kado untuk siapa, Calvin?" tunjuk Abi Assegaf ke arah tumpukan kado.
"Kado Natal untuk anak-anak panti asuhan yang dikelola para biarawati."
Detik itu juga, Calvin waswas. Pasti akan ada penentangan. Pasti Abinya akan memberi pandangan kontra. Mungkin saja berargumen dengan dalil-dalil agama. Namun...
"Luar biasa, Calvin. Abi bantu ya."
Di luar dugaan. Sungguh di luar dugaan. Abi Assegaf justru mendukung Calvin. Tak ada penentangan dan argumen beraroma fanatisme beragama.
"Abi tidak keberatan?"
"Sama sekali tidak. Abi senang bisa membantu orang-orang yang beda agama dengan kita."
Hati Calvin menghangat. Ia perlu belajar banyak dari sosok ayah hebat di sampingnya ini.
Hingga malam berganti pagi, keduanya berkutat menghias dan menyusun kado. Wanita mana pun dipastikan akan meleleh bila melihat kebaikan dua pria tampan ini. Tak peduli mereka berdua menyimpan penyakit serius di dalam tubuh.
Bicara tentang penyakit, Abi Assegaf mulai merasakan ada yang salah. Bukan, bukan pada dirinya. Seminggu terakhir, kondisinya cukup stabil. Ini tentang pemuda orientalis berkacamata di sisinya.
"Abi, apa Adica tidak akan marah kalau tahu Abi lebih memperhatikanku?" tanya Calvin, satu tangannya memberi pita pada kado kecil terbungkus kertas biru-keemasan.