Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Es Krim, Wanita Perusak dan Hidup Indah

1 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 1 Desember 2018   06:06 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Abi...!"

Teriakan tertahan Syifa menjadi penyelamat. Anak kandung adalah segalanya. Syifa butuh sang ayah. Segera saja Abi Assegaf memutus paksa telepon Kamila, lalu ia bergegas ke kamar putrinya.

"Abi...Abi!" Syifa masih memanggil-manggil Abi Assegaf dalam tidurnya.

"Syifa, Syifa Sayang. Ini Abi, Nak."

Perlahan, Abi Assegaf menepuk-nepuk pipi Syifa. Satu tangan yang lain membelai lembut lengan sang putri. Akhirnya gadis cantik itu membuka mata.

"Syifa kenapa?" tanya Abi Assegaf. Ia membungkuk, mendekatkan wajah tampannya ke wajah Syifa.

Bukannya menjawab, gadis itu mendekap Abi Assegaf erat-erat. Dia menangis.

"Mimpi buruk..." isaknya.

"Mimpi apa, Sayang?"

"Aku mimpi Abi dibawa pergi Om Deddy."

Mendengar itu, Abi Assegaf terenyak. Benarkah mimpi sebuah pertanda? Mungkinkah...?

Tangis Syifa tak berhenti juga. Kedua pundaknya bergetar hebat dalam isak. Dengan sabar, Abi Assegaf menenangkannya. Meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.

Tidak, ini bukan pertanda kematian. Ini hanya petunjuk dari Allah agar Abi Assegaf tak jatuh di jalan yang salah. Telepon dari wanita perusak bernama Kamila itu nyaris membuat malam sunyinya berantakan. Allah menahan langkah Kamila untuk terus mendekati suami Arlita itu.

Setengah jam berselang, barulah Syifa kembali tenang. Ia kembali tertidur setelah ditenangkan, dibelai, dan dibacakan beberapa ayat Surah Ar-Rahman. Abinya pandai sekali menenangkan orang lain.

Mau tak mau, Abi Assegaf bersyukur dengan insiden kecil ini. Praktis dia tak perlu repot mencari cara mengakhiri dialog pengundang cemburu dengan Kamila. Agresif sekali perempuan itu. Diteleponnya Abi Assegaf larut malam. Dia mengeluh, berpura-pura sakit, minta perhatian, dan berdalih kehilangan semangat hidup. Benar-benar merepotkan menghadapi wanita kandidat pelakor macam Kamila.

Allah Maha Tahu. MataNya mengawasi benih-benih keburukan di hati Kamila. Perempuan tidak cantik yang menghalalkan segala cara untuk merebut suami orang. Sakit jadi alasan terbesar. Jangan sampai Abi Assegaf terperangkap kelicikan Kamila.

Syifa telah terlelap. Abi Assegaf mencium kening gadis itu, lembut menyelimutinya. Membisikkan selamat tidur. Lampu dimatikan, pintu kamar ditutup perlahan. Menyisakan desis AC dan rinai hujan di luar sana.

Tiba di koridor berdinding kaca, Abi Assegaf bersandar sejenak. Lega mengaliri sudut hati. Setidaknya, malam ini dirinya terselamatkan dari godaan iblis peselingkuh berwujud Kamila. Ia harus punya cara untuk melindungi diri dan keluarganya.

**    

 
Sunny, sunny,

Jantungku berdetak tiap ku ingat padamu

Sunny, sunny,

Mengapa ada yang kurang saat kau tak ada

Sunny, sunny,

Melihatmu menyentuhmu itu yang kumau

Kau tak sempat tanyakan aku

Cintakah aku padamu..

Tiap kali,

Aku berlutut

Aku berdoa

Suatu saatKau bisa cinta padaku

Tiap kaliAku memanggilDidalam hati

Mana Sunny,

Mana Sunnyku

Mana Sunnyku (Bunga Citra Lestari-Cinta Pertama Sunny).

Alunan lagu dari radio mobil menghentak hati. Lagu itu sepertinya cocok untuk wanita perusak seperti Kamila. Syifa tetiba teringat pengganggu dalam rumah tangga Abi-Umminya.

Sedikit api kemarahan berkobar di hati. Tadi pagi, ia sempat mengecek iPhone Abinya. Mendapati rekaman percakapan telepon antara Abi Assegaf dan Kamila. Sebagai anak, jelas saja Syifa tak rela Abinya direbut perempuan lain.

"Abi?"

"Iya, Sayang?"

"Syifa boleh minta sesuatu?"

"Boleh. Syifa mau minta apa?"

"Abi, tolong jangan dekat-dekat lagi dengan Ibu Kamila. Dia perempuan berbahaya, Abi. Dia bisa membuat Abi dan Ummi berpisah lagi."

Permohonan terpancar jelas di mata Syifa. Refleks Abi Assegaf mencengkeram erat setir mobilnya. Ada kepedihan di mata anak itu. Kepedihan seorang anak yang mendapati ayahnya direbut perempuan lain. Perempuan yang menggunakan penyakit kankernya sebagai dalih untuk menguasai pria baik yang dicintainya.

"Iya, Sayang. Abi tidak pernah dekat dengan Kamila. Dia yang mendekati Abi."

"Kalau begitu, Abi jauhi dia. Jaga jarak sejauh-jauhnya. Jangan mau tertipu dengan sakitnya."

Abi Assegaf mengangguk. Kelembutan terkadang berbahaya. Lembutnya hati Abi Assegaf membuatnya sulit untuk tidak peduli pada orang lain. Kamila memanfaatkan titik lemah di hati pria itu untuk kesenangannya sendiri.

Honda Jazz merah itu berbelok di gedung fakultas. Syifa turun dari mobil setelah mengecup pipi Abi Assegaf. Menolak halus tawaran Abi Assegaf yang ingin mengantarnya sampai kelas. Potret kemesraan mereka tertangkap pandangan mata seseorang. Lelaki berkulit coklat dan berkemeja sederhana di mobil sebelah menatapi dengan senyum.

Menyadari ada yang memperhatikan, Abi Assegaf menghampiri lelaki itu. Ramah disapanya si lelaki berpakaian sederhana.

"Anda mesra sekali dengan putri Anda," komentar laki-laki itu.

Abi Assegaf tersenyum. "Sejak dulu sudah begitu. Saya tak pernah malu memeluk dan mencium Syifa di depan umum."

"Ya, saya tahu namanya Syifa. Siapa yang tak kenal dia? Walau hanya supir, saya tahu banyak tentang mahasiswa-mahasiswa terkenal di sini."

Mereka mulai mengobrol akrab. Laki-laki itu ternyata supir pribadi salah satu mahasiswa di fakultas ini. Setiap hari Senin sampai Kamis ia mengantar anak majikannya ke kampus dan menungguinya hingga selesai kuliah. Ada saja pengalaman enak dan tidak enaknya. Abi Assegaf lebih banyak mendengarkan.

Silakan saja orang-orang heran dengan keakraban dua pria beda status sosial ini. Tapi percayalah, Abi Assegaf tak pernah membuat jarak antara dirinya dengan kaum akar rumput. Tangannya selalu terbuka menerima mereka. Lihatlah, tak ada jarak antara Abi Assegaf yang sangat kaya dengan supir sederhana itu.

Sengaja Abi Assegaf stay di gedung fakultas. Ia sudah berjanji pada Syifa untuk mengajaknya makan siang. Alhasil, waktu menunggunya dihabiskan untuk berinteraksi dengan orang baru. Mendengarkan cerita, pengalaman, dan ungkapan hati pejuang hidup sederhana di hadapannya.

Sudah bertahun-tahun lelaki berkulit coklat itu menjadi supir. Tak ada pilihan lain, begitu katanya. Walau gelar sarjana diraihnya. Sulit sekali mencari pekerjaan. Lagu lama di negeri ini. Ribuan, bahkan jutaan sarjana menganggur dengan alasan sulit mencari kerja.

Pekerjaan sebagai supir menuntutnya cepat tanggap. Ia harus selalu siap bila dibutuhkan tuannya kapan pun. Terlebih, anak tuan besar yang dilayaninya tiap hari memiliki kesibukan dan mobilitas yang tinggi. Anak itu bukan mahasiswa biasa. Dia ketua unit kegiatan paduan suara mahasiswa. Selain itu, ia juga seorang model, penulis skenario, dan penyanyi.

Mendengar cerita si supir tentang kehebatan anak majikannya, Abi Assegaf teringat Calvin. Pemuda tampan yang telah dianggapnya anak sendiri itu juga seorang model dan blogger. Kondisi kesehatannya saja yang memaksanya vacum sementara dari dunia modeling. Sama seperti Adica dan Syifa, Abi Assegaf memiliki kebanggaan tersendiri pada Calvin.

Lama mereka mengobrol. Mulai dari soal pekerjaan, berita-berita terkini, sampai pelajaran hidup. Abi Assegaf senang berbicara dengan orang baru. Banyak pelajaran hidup yang didapatnya. Pelajaran hidup yang belum tentu bisa didapat dari mewahnya ruang kerja, sejuknya kantor, dan ramahnya para bawahan.

Sebelum berpisah, Abi Assegaf memberikan dua porsi es krim berlapis saus cokelat dan strawberry. Supir itu senang sekali menerimanya. Pemberian kasih dari teman bicara yang menyenangkan. Pertemuan dengan Abi Assegaf meninggalkan kesan semanis es krim yang kini dinikmatinya.

**       

"Mau makan siang dimana, Sayang?" tanya Abi Assegaf, mengarahkan mobilnya ke ruas jalan di dekat balai kota.

Syifa berpikir sejenak. Memilih-milih ingin makan siang dimana. Mengecek rekomendasi resto-resto terdekat dari pusat kota via aplikasi. Sesaat kemudian, pilihannya jatuh pada resto dengan menu-menu Western tepat di samping balai kota. Resto satu itu mendapat lima bintang. Reputasinya bagus di mata para traveler dan food blogger.

Tiba di resto, tak perlu menunggu lama lagi bagi Syifa untuk memilih steak sebagai menu makan siangnya. Sejak dulu, si putri kampus tak bisa lepas dari steak dan buah anggur. Anggur buah favoritnya, steak makanan kesukaannya. Selera yang sangat Western, begitu kata Adica dan Arlita. Mungkin bawaan gen dari Arlita yang bedarah Indo-Jerman.

Sementara itu, Abi Assegaf tak terlalu suka menu Barat. Ia lebih suka menu Timur Tengah. Demi anak, ia mau berkompromi.

Guess di pergelangan tangan Abi Assegaf berputar di angka dua belas. Ia bangkit dari kursinya. Pelan meraih tangan Syifa. Paham maksud Abinya, gadis dengan long dress merah marun itu ikut berdiri.

Mereka berdua melangkah ke mushala. Waktunya shalat Zuhur. Ibadah nomor satu, dimana pun mereka berada. Syukurlah Muslim taat macam Abi Assegaf dan Syifa tinggal di Indonesia. Mudah menemukan tempat ibadah agama mereka dimana-mana.

Shalat berjamaah, bentuk keromantisan lain antara Abi Assegaf dan putri cantiknya. Syifa bahagia bisa shalat diimami Abinya. Waktu khusus yang sungguh indah. Hanya ada dirinya, Abi Assegaf, dan Allah. Membuat ibadah mereka makin spesial.

Syifa menangis dalam doanya. Ia berharap, saat-saat indah ini tak rusak dengan kehadiran Kamila. Syifa mendoakan kebersamaan dengan Abinya dunia-akhirat.

Usai shalat, mereka kembali ke meja. Makanan dan minuman telah disajikan. Meja di sebelah menarik perhatian Syifa. Dua gadis berpakaian modis duduk sambil berbincang tentang hidup indah. Syifa mengenali mereka. Dulunya, sepasang mahasiswa itu finalis ajang pemilihan putri kampus.

"...Kalo kata dia sih, punya cowok bikin hidup indah. Tapi kata gue enggak." kata gadis pertama.

"Menurut gue, banyak uang yang bikin hidup itu indah."

"Iya sih, bener juga. Mendingan banyak uang. Hidup jadi lebih indah."

Tanpa sadar, Syifa menggenggam erat pisaunya. Abi Assegaf menatapnya lembut, tersenyum penuh arti.

"Aku tidak setuju, Abi." ucapnya pelan.

"Uang memang mempermudah kehidupan, tapi tidak menjamin hidup jadi indah. Menurutku, hidup akan indah jika semua aspek dalam kehidupan kita seimbang."

"Iya, Sayang. Abi juga berpendapat begitu. Tapi, setiap orang boleh punya pemikiran dan nilai kebenaran sendiri, kan?"

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun