Sejak musim hujan tiba, pagi tak lagi cerah disinari mentari. Langit pagi selalu terlihat putih, abu-abu dingin, bahkan hitam berlapis awan Nimbus. Pagi ini, langit kembali putih. Udara dingin sekali. Angin berteriak, bersaing dengan debur ombak.
Rumah mewah tepi pantai itu mulai berdenyut sibuk sejak pukul empat pagi. Enam pelayan bangun, bebersih, dan menyiapkan sarapan. Di lantai atas, Arlita terbangun dari tidurnya dan menemukan Abi Assegaf masih video call dengan Deddy. Cepat-cepat dibangunkannya Adica dan Syifa.
Denyut aktivitas terus terasa. Jam demi jam bergulir. Langit pagi memutih, siap memuntahkan hujan menjelang pukul enam. Waktunya sarapan. Abi Assegaf kesulitan bangun dari tempat tidurnya, namun ia memaksakan diri. Adica memapah Abinya tanpa diminta.
Ruang makan dengan dominan warna krem itu sunyi. Sangat sunyi. Pesawat radio rusak, belum sempat dibetulkan. Perintah Abi Assegaf untuk memperbaikinya segera dikerjakan. Rumah tanpa radio serasa rumah tanpa jendela.
Entah mengapa, perasaan Abi Assegaf tak tenang. Pesawat radio yang tiba-tiba rusak membuatnya terusik. Arlita menenangkan. Semuanya akan baik-baik saja.
"Hanya rusak, Assegaf. Bisa dibetulkan lagi. Ini, makan dulu rotinya. Terus minum obat."
Abi Assegaf menurut. Syifa meraih remote TV dan menyalakannya. Tayangan berita tersaji di depan mata. Hanya berita-berita seputar korupsi yang dilakukan pejabat negara.
"Membosankan," komentar Adica setelah menghabiskan rotinya.
"Aku sudah muak membacakan warta berita itu di radio. Siaran berita berjaringan juga sering mewartakannya."
"Ya sudah, Sayang. Jangan didengarkan kalau tak suka." Syifa menengahi.
Susu tertuang dari teko perak. Abi Assegaf mengangkat gelas. Sedetik menyesap cairan putih itu...